NAMA : LENI SITI SYAMSIAH
KELAS : 2A
ü Stilistika
KAJIAN STILISTIKA NOVEL SIRAH
KARYA AY. SUHARYANA
A.
Pengertian Stilistika
Stilistika mengingatkan kita tentang style
atau gaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 859) kata stilistika
berarti ilmu tentang penggunaanbahasa
dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Gaya dalam kaitan ini tentu saja mengacu
pada pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra. Kajian ini dimaksudkan
untuk menerangkan sesuatu yang berhubungan dengan bahasa.
Stilistika mengkaji wacana sastra dengan
orentasi linguistik yakni mengkaji cara sastrawan memanipulasi potensi dan
kaidah yang terdapat dalam bahasa serta memberikan efek tertentu. Harimurti
Kridalaksana (2001: 202) stilistika adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa
yang dipergunakan dalam karya
sastra;
ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; (2) penerapan linguistik
pada penelitian gaya bahasa.
Stilistika tidak hanya merupakan studi
gaya bahasa dalam kesusastraan saja, melainkan juga studi gaya bahasa pada
umumnya walaupun terdapat penelitian khusus pada bahasa kesusastraan seperti
hal-nya yang dikemukakan oleh (Turner. G.W dalam Erry Pranawa, 2005: 21): “Stylistics
is that part of linguistics which concentrate on variation in the use of
language” (Stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan diri
pada variasi dalam penggunaan bahasa).
Adapun menurut Panuti Sudjiman (1993:
52) pengkajian stilistika mengkaji teks sastra secara rinci dan sistematis,
melibatkan prefensi penggunaan kata atau struktur bahasa, mengamati antara
hubungan pilihan itu untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistik (stylistic
feature) yang membedakan pengarang, karya, tradisi atau periode tertentu
dari pengarang, karya, tradisi, atau periode lainnya.
Bahasa
hampir selalu memiliki variasi yang disebabkan oleh lingkungan tertentu.
Linguistik merupakan ilmu yang berupaya memberikan bahasa dan menunjukkan
bagaimana cara kerjanya, sedangkan stilistik merupakan bagian dari linguistik
yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, yang walaupun
tidak secara eksklusif, terutama pemakaian bahasa dalam sastra (Turner G.W.
dalam Erry Pranawa, 2005: 20).
Hal ini berarti stilistika adalah studi
gaya yang menyarankan bentuk suatu ilmu pengetahuan atau paling sedikit studi
yang metodis. Kajian stilistika berpangkal pada bentuk ekspresi, bentuk bahasa
kias dan aspek bunyi. Akan tetapi, istilah stilistika secara umum dikenal
sebagai studi pemakaian bahasa dalam karya sastra. Adapun alasan penggunaan
bahasa dalam karya sastra karena bahasa mampu menghadirkan kekayaan makna,
mampu menimbulkan misteri yang tidak ada habisnya, mampu menimbulkan efek
emotif bagi pembaca atau pendengarnya, citraan serta suasana tertentu.
Pengungkapan hal tersebut dilakukan oleh pengarang untuk menunjukkan sifat
kreativitasnya serta pengungkapan gagasan tersebut bersifat individual,
personal yang tidak dapat ditiru dan selalu ada pembaharuan.
B.
Analisis Stilistika
dalam Novel AY. Suharyana
Analisis
stilistika dalam novel Sirah karya AY. Suharyana, (1) pemilihan aspek
bunyi bahasa (asonansi dan aliterasi) (2) diksi atau pilihan kata dalam novel Sirah
karya AY. Suharyana, dan (3) pemakaian gaya bahasa yang terdapat dalam
novel Sirah karya AY. Suharyana. Adapun uraiannya sebagai berikut.
a. Aspek Bunyi Bahasa dalam Novel Sirah Karya AY. Suharyana
Aspek bunyi
adalah bunyi-bunyi yang dimanfaatkan oleh pengarang tidak sekedar untuk
mendukung keindahan karya sastra, melainkan juga untuk menimbulkan
nuansa-nuansa tertentu di dalam menggambarkan suatu keadaan, peristiwa, atau
situasi tertentu (Edi Subroto, 1999: 65). Pemanfaatan aspek bunyi bahasa dalam
novel Sirah meliputi asonansi atau purwakanthi swara ‘persamaan bunyi
vokal’ dan aliterasi atau purwakanthi sastra ‘persamaan bunyi konsonan dalam
pembentukan kata, frasa, atau kalimat.’
1. Purwakanti Swara ‘Asonansi’
Asonansi, yaitu
gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang
sama (Gorys Keraf, 2006: 130). Beberapa data di bawah ini mengandung
penggunaan gaya bahasa asonansi:
(1) Masyarakat akeh kang isih kesrakat.
Durung kabeh bisa ngrasakake listrik, gek dalan prasasat kaya kali asat.
(S/K/8/)
‘Masyarakat banyak yang masih tertinggal. Belum semua bisa merasakan
listrik, jalanan ibarat sungai kering.’
(2) Swasana cep klakep kaya orong-orong kepidak.
(S/K/10/)
‘Suasana terdiam seketika seperti orong-orong keinjak. ’
(3) “Omongku ora mung waton, ning maton.”
(S/K/13/)
‘Perkataanku tidak hanya asal, tetapi berdasar.’
(4) Lumrah yen kabar dadi semebar, mblabar ngambar-ambar.
(S/DJD/41/)
‘Wajar kalau berita menjadi tersebar, menyebar ke mana-mana.’
(5) Calur-calur sing arep munjung bareng maca
padha mundur teratur. (S/SJD/45/)
’Calur-calur yang akan maju setelah membaca semuanya mundur
dengan teratur.’
(6) Wijayani pasrah.
Wijayani sumarah.
Wijayani nggresah. (S/DJD/58/)
‘Wijayani pasrah.’
‘Wijayani menyerah.’
‘Wijayani resah.’
(7) Lha piye, penumpang wis jejel riyel kepara
nganti pating grandhul neng lawang kok bisa-bisane kandha nek kothong.
(S/GS / 82/)
‘Ya bagaimana, penumpang sudah berjejal-jejalan bahkan sampai menggantung
di pintu mengapa bilang kalau kosong.’
(8) Mesthine dheweke uga kajen keringan, urip makmur drajat kaangkat.
(S/ND/121/)
‘Mestinya dia juga dihormati, hidup makmur derajat terangkat.’
(9) Layang-layang sing neng jero mbaka siji diteliti
kanthi premati. (S/U/161/)
‘Surat-surat yang di dalam satu demi satu diteliti dengan cermat.’
(10) Kosok baline nedya nggleges wae, kepara lembah manah
utawa andhap asor. (S/ND/166/)
‘Sebaliknya hanya santai
saja, yang penting rendah hati atau merendah.’
(11) “Aku nedya ngecakke ilmu mbabar bongkot nyebrot oyot.”
(S/WP/198/)
‘Saya hanya menerapkan ilmu tidak ada batang akar pun jadi. ’
(12) Aku arep golek sisik melik. (S/P/233/)
‘Saya akan mencari informasi.’
(13) Sanajan wis duwe lurah anyar, kahanan desa tetep adhem ayem.
(S/RMM/247/)
‘Meskipun sudah memiliki lurah yang baru, keadaan desa tetap damai sejahtera.’
Pada data (1)
dan (8) terdapat asonansi vokal /a/ yang langsung diikuti konsonan /t/, yaitu
pada kata masyarakat ‘masyarakat’, kesrakat ‘tertinggal’, prasasat
‘ibarat’, asat ‘kering’ dan drajat kaangkat ‘derajat
terangkat’. Bunyi yang secara khusus disebut fonem /t/ berkedudukan sebagai
penutup sukukata, sedangkan bunyi /a/ merupakan pusat kenyaringan bunyi.
Persamaan yang demikian tetap disebut sebagai asonansi.
Persamaan bunyi
semacam itu juga terdapat pada data (2) kata cep klakep
‘terdiam seketika’, asonansi suku tertutup fonem /p/ dengan bunyi
/e/. Data (3) asonansi suku tertutup bunyi /n/ dengan variasi bunyi /o/ pada
kata waton ‘asal’ dan maton ‘berdasar’. Pada data
(4) dan (5) potensi bunyi /r/ dikombinasikan dengan bunyi /a/ dan /u/ pada data
(4) tuturan kabar dadi semebar, mblabar ngambar-ambar
‘berita menjadi tersebar, menyebar kemana-mana’. Data (5) pada
kata calur-calur, mundur, dan teratur.
Data (6) dan (10) asonansi suku tertutup /h/ dengan variasi vokal /a/, data (6)
pada kata pasrah, sumarah ‘menyerah’, nggresah
‘resah’, dan data (10) pada lembah manah ‘ramah tamah’.
Data (11)
suku tertutup /t/ dengan kombinasi bunyi /o/ pada mbabar bongkot
nyebrot oyot
‘tiada batang akar pun jadi’. Pada data (7) potensi bunyi /l/
dikombinasikan dengan bunyi /e/ pada frasa jejel riyel ‘berdesak-desakan’
dimanfaatkan untuk menggambarkan keadaan yang amat banyak, berdesak-desakan,
dan tidak teratur. Data (9) menggunakan purwakanthi swara ‘asonansi’
suku terbuka bunyi /i/, yaitu pada tuturan sing neng jero
mbaka siji diteliti kanthi premati ‘yang
di dalam satu demi satu diteliti dengan cermat’. Pada data (12) di atas purwakanthi
swara suku tertutup /k/ dengan dikombinasi bunyi /i/ pada frasa sisik
melik. ‘informasi’. Data (13) asonansi suku tertutup /m/ dengan
variasi vokal /e/ pada frasa adhem ayem ‘damai sejahtera’
menggambarkan keadaan yang tidak ada perubahan. Asonansi-asonansi tersebut
mampu mendukung keindahan dalam kalimat.
2. Purwakanti Sastra ‘Aliterasi’
Aliterasi
adalah gaya bahasa yang berupa perulangan konsonan yang sama. Biasanya
dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk
penekanan (Gorys Keraf, 2006: 130). Aliterasi adalah repetisi konsonan pada
awal kata secara berurutan.
(14) … para
perangkat mula padha pandeng-pandengan, nanging
banjur mesem, pikirane padha…(S/K/14/)
‘... para perangkat saling berpandang-pandangan, tetapi sambil tersenyum,
pikirannya sama...’
(15) Mung sing gawe
kaget, njur neng kene ki arep ngapa, sruwa sruwi sarwa
sepi. (S/SJD51/)
‘Hanya yang mengagetkan, di sini ini mau apa, semua serba sepi.’
(16) “Tas dibukak. Pranyata isine tela garing, gedhang
godhog lan kacang.” (S/SJD/61/)
‘Tas dibuka. Ternyata isinya ketela kering, pisang rebus dan
kacang.’
(17) Ora mung wong pinter wae sing duwe hak nyalonke,
ning uga kalangan
rakyat cilik sing dianggep kesingkir kaya kowe
kuwi. (S/SJD/61/)
‘Tidak hanya orang pintar saja yang mempunyai hak untuk mencalonkan,
namun juga kalangan rakyat kecil yang dianggap tersingkir seperti kamu.’
(18) “Tasih taraf pendaftaran”
(S/SJD/61/)
‘Masih taraf pendaftaran’
(19) Mung pancen kudu waspada, awit kendharaan tansah blebar-bleber
banter. (S/SJD/81/)
‘Namun memang harus waspada, karena kendaraan mondar-mandir kencang.’
(20) “Bapa Klaras kathah-kathah anggenipun
ngendika bab menika, nanging kula ingkang ngrerepih nyuwun
kawelasan saged kasowanaken.” (S/GS/109/)
‘Bapak Klaras banyak-banyak membicarakan bab itu, akan tetapi saya yang
memohon minta belas kasihan bisa dipertemukan.’
(21) Aja girang-girang gemuyu.
(S/ND/123/)
‘Jangan bersenang-senang dulu.’
(22) Saya suwe saya tipis, munggah
ndedel, wusana ilang kasaput esuk sing saya
nggremet tumuju awan ninggalake ganda aruming menyan.
(S/U/149/)
‘Semakin lama semakin tipis, naik pesat, seketika hilang tersaput
pagi yang semakin merangkak menuju siang meninggalkan bau harumn kemenyan.’
(23) Lha wong kowe ki ya lucu kok, Kang.
(S/U/159/)
‘Kamu itu ya lucu, Kang.’
Pada data (14) purwakanthi
sastra ‘aliterasi’ bunyi /p/. Data (15) dan (22)
terdapat purwakanthi sastra ‘aliterasi’ bunyi /s/. Pada data
(16) dan (21) purwakanthi sastra ‘aliterasi’ bunyi /g/ terdapat dalam
kata garing ‘kering’, gedhang godhog
‘pisang rebus’, girang-girang ‘senang-senang’ gemuyu
‘tertawa’. Data (17), (20), dan (23) purwakanthi sastra ‘aliterasi’
bunyi /k/ menghiasi kata kalangan ’kalangan’, kesingkir
’tersingkir’, kula ’saya’, kawelasan ’belas
kasihan’, kasowanaken ’dipertemukan’, kaya
’seperti’, kowe ’kamu’ ki ’itu’
yang amat dominan dalam novel Sirah. Data (18) purwakanthi sastra
‘aliterasi’ bunyi /t/. Sedangkan data (19) terdapat perpaduan purwakanthi
sastra ‘aliterasi’ bunyi /b/ dengan bunyi /r/ dalam kata blebar-bleber
’mondarmandir’ dan banter ’kencang.
Aliterasi-aliterasi seperti di atas dapat menjadikan rangkaian kalimat dalam
novel menjadi indah.
b. Diksi dalam Novel Sirah Karya AY. Suharyana
Diksi adalah
pilihan kata yang tepat, baik dalam kata, frasa maupun dalam kalimat untuk
menyampaikan gagasan dan kemampuan menemukan bentuk-bentuk yang sesuai dengan
situasi sehingga memperoleh efek tertentu. Pemakaian kosakata yang dipergunakan
dalam novel Sirah karya AY. Suharyana sangat banyak jenisnya. Penggunaan
diksi atau pilihan kata yang banyak terdapat dalam novel Sirah karya AY.
Suharyana antara lain (1) kosakata bahasa Indonesia, (2) kosakata bahasa asing,
(3) tembung saroja, (4) kata sapaan, (5) kata-kata bermakna kasar, (6)
sinonim, dan (7) ungkapan.
1. Kosakata Bahasa Indonesia
Kalimat-kalimat
yang terdapat dalam novel Sirah Karya AY. Suharyana
memakai bahasa Jawa, namun demikian leksikal yang muncul bukan
hanya kosakata yang berasal dari bahasa Jawa. Dalam novel Sirah Karya
AY. Suharyana, di mana penggunaan bahasa Jawa merupakan yang dominan dipakai
namun ada satu saat bahasa Indonesia terpakai secara bersamaan
dengan bahasa
lainnya.
(24) Luwih-luwih neng Jakarta kana, interupsi ki lumrah.
(S/K/3/)
‘Lebih-lebih di Jakarta sana, interupsi itu sudah wajar.’
(25) Saiki sing tenang lan aja ana kang nyela maneh.
(S/K/3/)
Sekarang yang tenang dan jangan ada yang menyela lagi.’
(26) Bab peraturan utawa prekara sing mung intern kelurahan,
aku bisa mutusi. (S/K/6/)
‘Bab peraturan atau perkara yang hanya intern kelurahan, saya bisa memutuskan.’
(27) Tangane sing nyeceg tegesan ketara gemeter kayadene
pesakitan ngenteni vonis hakim. (S/DJD/35/)
‘Tangannya mematikan putung rokok terlihat gemetar seperti halnya tersangka
yang menunggu vonis hakim.’
(28) Jaman modern je dipadhakke mbiyen. (S/DJD/39/)
‘Jaman modern disamakan dahulu.’
(29) “Kena wae wong jaman emansipasi. (S/DJD/57/)
‘Boleh saja kan jaman emansipasi.’
(30) “He-eh. Aku wong loro sing bakal dadi sponsor,”
Dhukuhe nambahi.
(S/SJD/63/)
‘Ya. Saya berdua yang akan menjadi sponsor, Dukuhnya menambahkan.’
(31) “Kowe sing optimis. Desa Waru kidul kecamatan kae
rak ya akeh sing
melu Uper periode taun wingi.” (S/SJD/64/)
‘Kamu yang optimis. Desa Waru selatan kecamatan itu juga banyak yang
mengikuti Uper periode tahun kemarin’
(32) Pak Dhukuh ngulangi kertas lan bolpoin.
(S/SJD/64/)
‘Pak Dukuh mengulangi kertas
dan bolpoin.’
(33) “Oke, ngarep kiri stop!” (S/SJD/86/)
‘Oke, depan kiri stop!’
(34) Tugas saka kabupaten wis rampung, awit mung milih “Tiga
Besar”
utawa calon cacah telu sing dianggep mumpuni. (S/WP/192/)
‘Tugas dari kabupaten sudah selesai, hanya sampai memilih tiga
besar atau tiga calon yang dianggap berbakat. ’
(35) “Yoh. Mengko aku survei bab kependhudhukan dhisik.”
(S/WP/200/)
‘Ya. Nanti saya survei bab kependudukan.’
(36) “Wah hebat, Kang. Sakjangkah maneh dadi lurah.”
(S/WP/201/)
‘Wah hebat, Kang. Selangkah lagi menjadi lurah.’
(37) Yen nafkah batin ora kecukupan, nafkah lair
sing kudu dicukupi.
(S/WP/202/)
‘Kalau nafkah batin tidak tercukupi, nafkah lahir yang harus
dicukupi.’
(38) “Pak Camat duwe insting yen Joyo Dengkek bakal hasil
dadi lurah Jati
Dhoyong nyingkirake Fredy dalah Boiman.” (S/P/222/)
‘Pak Camat mempunyai insting kalau Joyo Dengkek akan berhasil menjadi
lurah Jati Dhoyong menyingkirkan Fredy dan Boiman.’
(39) “Ning maaf ya, Mas. Kudune panjenengan rak nyambut
gawe, malah tak
eret-eret tekan kene.”
(S/P/222/)
‘Tetapi maaf ya, Mas. Seharusnya kamu itu bekerja, malah saya bawa-bawa
sampai di sini.’
(40) “Trima kasih, Nik. Aku ora nelangsa.”
(S/P/224/)
‘Terima kasih, Nik. Aku tidak menyesal.’
(41) Srana logika, lulusan Uper SMP, ujiane rangking siji
nglahake sing lulusan SMU utawa sarjana, uga tanpa ngetokke dhuwit sakndhil piceg
bisa menang mutlak. (S/P/233/)
‘Secara logika, lulusan Uper SMP, ujiannya rangking satu
mengalahkan yang lulusan SMU atau sarjana, juga tanpa mengeluarkan uang sedikit
pun berkhayal bisa menang mutlak.’
(42) Ing panggung wis
katon grup band siap,…(S/P/240/)
‘Di panggung sudah terlihat grup band siap,…’
(43) “Kanthi gulu dan dhadha kebak abang tilas cupangan?”
(S/P/244/)
‘Sampai leher dan dada penuh tanda merah bekas ciuman?’
(44) Nyuwun omah ing lemah kas desa, nyuwun proyek fiktif.
(S/RMM/250/)
‘Minta rumah di tanah kas desa, minta proyek fiktif.’
Pemakaian
kosakata bahasa Indonesia pada novel Sirah karya AY. Suharyana tampak
pada data (24) sampai (44) yaitu kata interupsi, tenang, intern,
vonis, modern, emansipasi, sponsor, optimis, periode, bolpoin, stop,
tiga besar,
survei, hebat,
nafkah, maaf, trima kasih, logika, grup band, dan fiktif.
Kosakata bahasa
Indonesia tersebut digunakan oleh AY. Suharyana untuk
menggambarkan tokoh cerita dengan segenap latar belakang sosial
yang melingkupinya. Seperti kata interupsi, tenang , intern pada data
(24) sampai (26)
digunakan oleh tokoh Fredy. Fredy Kurniawan adalah seorang
insinyur, selain itu
ia juga anak Pak Projo seorang mantan lurah di desa Jati Dhoyong.
Pada data (44)
kata fiktif digunakan oleh Boiman yang juga seorang sarjana.
Selain untuk menggambarkan latar belakang sosial para tokohnya, kosakata bahasa
Indonesia
dalam novel Sirah karya AY. Suharyana ini juga menggambarkan
latar belakang
sosial pengarangnya sendiri. Misalnya pada data (27) kata vonis dan
data (42) kata
grup band yang
dituturkan langsung dalam novel oleh pengarang.
Di samping itu,
kosakata bahasa Indonesia juga dipakai karena pengungkapan gagasan lebih
mengikuti pola struktur kalimat bahasa Indonesia. Seperti pada data (27) sampai
(41) yaitu kata vonis, modern, emansipasi, sponsor,
optimis, periode,
stop, tiga besar, hebat, nafkah, maaf, trima kasih, logika yang
apabila diganti kata lain maka maknanya akan berbeda, karena memang
dalam bahasa Jawa tidak ada kata yang pas untuk dapat mengantikan kata tersebut
dalam
kalimat. Sedangkan pada data (43) terdapat kesalahan penulisan kata
dan yang seharusnya lan.
Jadi dapat
dilihat bahwa pemakaian kosakata bahasa Indonesia dalam novel Sirah karya
AY. Suharyana ini selain untuk menggambarkan latar belakang
sosial pengarang dan para tokoh di dalam cerita, kosakata bahasa
Indonesia juga
dipakai karena pengungkapan gagasan lebih mengikuti pola struktur
kalimat bahasa Indonesia.
2. Kosakata Bahasa Asing
Pemakaian
kosakata bahasa asing (Inggris) dalam teks bahasa Jawa dirasakan lebih ilmiah
daripada harus menerjemahkannya dalam bahasa Jawa. Namun bisa saja pemakaian
kosakata bahasa asing tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa seseorang
mengetahui istilah-istilah tersebut, padahal belum tentu ia mengerti maksudnya
dan dapat mengucapkan atau menulisnya dengan benar.
(45) Dene sing gegayutan karo pupuk, insus, lan sapanunggalane
yen perlu tak loby tekan propinsi utawa pusat sisan. (S/K/6/)
‘Jadi yang berhubungan dengan pupuk, insus, dan sejenisnya kalau
perlu saya loby sampai propinsi atau pusat sekalian.’
(46) Kendharaane wae Tiger 2000 sing isih anyar gres, menganggo
clana jean biru tua, T-shirt ireng polos ditutupi jaket kulit. (S/DJD/33/)
‘Kendaraannya saja Tiger 2000 yang masih sangat baru, hanya memakai
celana jean biru tua, T-shirt hitam polos ditutupi jaket kulit.’
(47) “Karo refresing, pikiran lan awak ben seger.” (S/DJD/54/)
‘Sekalian refresing, pikiran dan badan menjadi segar.’
(48) “Nek neng diskotik ki akeh-akehe musik rock, pating
begijig. Aku ora
kuwat, wong dhasar balung tuwa. Slow ya ana, ning rak
arang-arang.” (S/DJD/57/)
‘Kalau di diskotik itu kebanyakan musik rock, bergemuruh. Aku tidak
kuat, orang memang sudah tua. Slow juga ada, tetapi jarang.’
(49) Sawise nandha tangani bill, wong loro runtung-runtung
ninggalake restoran njujug kamar. (S/DJD/57/)
‘Setelah menandatangani bill, keduanya berduyun-duyun
meninggalkan restoran menuju kamar.’
(50) Kepala Dhukuh ya diundang supaya nyekseni yen kabeh lumaku
kanthi
jujur lan fair. (S/U/174-175/)
‘Kepala dukuh di undang supaya menyaksikan kalau semua berjalan dengan
jujur dan fair.’
(51) Edan, Mas. Soale angel. Jurine tegas lan killer tanpa
bisa dijak kompromi. (S/WP/187/)
‘Gila, Mas. Soalnya sulit. Jurinya tegas dan killer tanpa
bisa diajak kompromi.’
(52) Kanggo Mas Kadri aku wis nyiapke dana lumayan lan kapan ngersakake
servis aku tansah sumadya, jer aku ki uga ngelak ing sesambungan priya
lan wanita. (S/WP/188/)
‘Untuk Mas Kadri aku sudah menyiapkan dana lumayan dan kapan menginginkan
servis saya selalu bersedia, memang aku sendiri juga haus pergaulan pria
dan wanita.’
(53) Bali mlebu wis nggawa baki isi wedang segelas karo snack
kang diwadhahi dhus. (S/WP/190/)
‘Kembali masuk sudah membawa nampan berisi segelas minuman dengan snack
yang ditempatkan kardus.’
(54) Gandheng pancen ngelak, tanpa diacarani Widodo nyerot soft
drink mau nganti entek separo. (S/WP/198/)
‘Karena memang haus, tanpa dipersilakan Widodo meminum soft
drink hingga habis setengah.’
(55) Terus terang ya, Dhik. Sanajan wong ndesa, aku ki playboy.
(S/WP/199/)
‘Terus terang ya, Dik. Meskipun orang desa, saya ini playboy.’
(56) Dheweke nedya terus neng dealer sepedha motor, milih
sing rupa ireng
kang sasuwene iki dipengini. (S/WP/200/)
‘Dirinya ketika itu langsung pergi ke dealer sepeda motor,
memilih warna hitam yang selama ini dia inginkan.’
(57) Mripate Senik nyawang jam kang cementhel ing resepsionis.
(S/P/214/)
‘Matanya Senik melihat jam yang tergantung di resepsionis.’
(58) Pak Camat duwe insting yen Joyo Dengkek bakal kasil
dadi lurah Jati
Dhoyong nyingkirake Fredy lan Boiman. (S/P/218/)
‘Pak Camat mempunyai insting kalau Joyo Dengkek nantinya
akan berhasil menjadi lurah Jati Dhoyong menyingkirkan Fredy dan Boiman.’
(59) Kanggo Dhik Senik takgolekke sanggar sing apik lan salon
sing bonafid.
(S/P/224/)
‘Untuk Dik Senik saya carikan sanggar yang bagus dan salon yang bonafid.’
(60) Anggone nganggo make-up mung sakmadya, pupuran
tipis-tipis lan
lambe dibengesi sacukupe. (S/P/229/)
‘Caranya memakai make-up hanya secukupnya, pakai bedak tipis-tipis dan
bibir diberi lipstik secukupnya. ’
(61) Dadi carane kaya dhek pemilu biyen. Ing kene Joyo Dengkek
wiwit action. (S/P/230/)
‘Jadi caranya seperti pemilu waktu dulu. Di sini Joyo Dengkek mulai
aksi.’
(62) Kejaba tingkat telu, uga isih ana kopel minangka suit
room kang
semebar. (S/P/236/)
‘Kemungkinan tingkat tiga, juga masih ada kopel suit room yang
tersebar.’
(63) Badhe dipundherekaken room boy? (S/P/236/)
‘Mau diantar room boy?’
Kosakata bahasa
asing yang digunakan oleh AY. Suharyana dalam novel Sirah seperti yang
tampak dalam data (45) sampai (63) yaitu kata loby, T-shirt, refresing,
rock, slow, bill, fair, killer, servis, snack, soft drink, playboy, dealer,
resepsionis, insting, bonafid, make-up, action, dan kata suit room adalah
bahasa asing yang sudah sering digunakan dalam kalimat bahasa Indonesia maupun kalimat
bahasa Jawa. Kosakata bahasa asing dalam kalimat bahasa Jawa maupun kalimat
bahasa Indonesia dapat menunjuk pada bidang-bidang tertentu. Misalnya data (49)
kata bill, (59) kata resepsionis, (63) kata suit room dan (63)
kata room boy biasa digunakan oleh orang-orang dalam bidang perhotelan.
Pemakaian
kosakata bahasa asing dalam novel Sirah karya AY. Suharyana ini digunakan
pengarang untuk menggambarkan latar belakang sosial para tokohnya. Contoh pada
data (45) kata loby diucapkan oleh tokoh Fredy seorang insinyur dan putra
mantan lurah, data (47) kata refresing, (48) kata rock dan slow,
(52) kata killer, dan (53) kata servis diucapkan oleh tokoh
Wijayani yang pernah tinggal di Jakarta, sedangkan pada data (56) kata playboy,
data diucapkan oleh tokoh Widodo yang seorang pegawai kecamatan. Selain itu
pemakaian bahasa asing dalam novel Sirah tersebut juga menggambarkan
latar belakang sosial budaya pengarangnya. Contoh data (46) kata T-shirt,
(49) kata bill, (53) kata snack, (54) kata soft drink,
(56) kata dealer, (57) kata resepsionis, (58) kata insting,
(60) kata make-up, (61) kata action, dan (62) kata suit room,
kata-kata tersebut diucapkan oleh pengarang secara langsung dalam novel, tidak
melalui percakapan antar tokohnya. Hal itu menjelaskan bahwa AY. Suharyana
adalah seorang pengarang yang memiliki latar belakang sosial budaya yang
memadai.
3. Tembung Saroja
Tembung saroja adalah dua buah kata yang mempunyai makna sama atau hampir sama
(maknanya mirip) dan dipakai secara bersama-sama. Penggunaan dua kata yang
mirip artinya itu dimaksudkan untuk memberi penyangatan arti sehingga
menimbulkan efek emosi sangat kuat (Edi Subroto, 1999: 72). Berikut ini adalah
pemakaian tembung saroja dalam novel Sirah karya AY. Suharyana.
(64) Kahanan dadi sepi nyenyet, nuwuhake rasa aneh tumrap
Joyo Dengkek.
(S/GS/102/)
‘Keadaan menjadi sunyi sepi, menimbulkan rasa aneh terhadap Joyo Dengkek.’
Pada data (64)
kata sepi nyenyet ‘sunyi sepi’ kata tersebut apabila dipisah berarti
sama atau hampir sama artinya, yaitu kata sepi berarti sepi dan kata nyenyet
juga berarti sepi. Jadi kata sepi nyeyet bisa diartikan bahwa
keadaan benar-benar sepi atau sangat sepi.
(65) Lha piye, penumpang wis jejel riyel kepara nganti
pating grandhul neng
lawang kok bisa-bisane kandha nek kothong. (S/SJD/82/)
‘Bagaimana, penumpang sudah berdesak-desakan bahkan sampai
bergantung pada pintu bisa-bisanya bilang kalau kosong.
(66) Kosok baline nedya ngenggleges wae, kepara lembah manah
utawa
andhap asor .
(S/ND/166/)
‘Sebaliknya hanya santai saja, yang penting ramah tamah atau rendah
hati.’
(67) Ing ngarepe bocah-bocah mau Kadri menehi pituduh akeh-akeh
bab
budi pekerti.
(S/U/170/)
‘Dihadapan anak-anak tadi Kadri memberikan banyak-banyak nasehat tentang
budi pekerti.’
(68) Rai sing maune
butheg kaya kebelet menyang WC dadi padhang
sumringah.
(S/WP/186/)
‘Wajah yang tadinya kusut menjadi ceria.’
(69) Pranyata Fredy isih neng ngisor wit trembalo, lagi ubeg
nampa ucapan
selamat saka sanak kadang dalah tangga teparo. (S/WP/196/)
‘Sedangkan Fredy masih dibawah pohon trembalo, lagi sibuk menerima ucapan
selamat dari sanak saudara dan para tetangga.’
(70) Lha wong ditanemi wiji saklepasan, sanajan adoh saka rasa
marem,
klakon dadi jabang bayi. (S/WP/202/)
‘Ditanami benih sekali saja, meskipun jauh dari rasa puas, bisa
wujud menjadi bayi.’
(71) Sanajan wis duwe lurah anyar, kahanan dhesa tetep adhem
ayem. (S/RMM/247/)
Meskipun sudah memiliki lurah yang baru, keadaan desa tetap damai sejahtera.’
Pada data (65)
sampai data (71) terdapat bentuk tembung saroja yaitu
frasa jejel riyel ‘berjejal-jejal’, andhap asor ‘rendah’,
budi pekerti ‘kebaikan’, padhang sumringah ‘ceria, sanak
kadang ‘sanak saudara’, tangga teparo ‘tetangga’, jabang bayi ‘bayi’,
dan adhem ayem ‘damai sejahtera. Kata jejel berarti berjejal,
kata riyel juga berarti berjejal. Kata andhap berarti rendah,
kata asor juga berarti rendah. Kata sanak berarti saudara, kata kadang
juga berarti saudara. Penggunaan tembung saroja dalam suatu
kalimat akan memberikan makna lebih atau menyangatkan.
4. Kata Sapaan
Kata sapaan
adalah kata untuk saling merujuk dalam pembicaraan dan yang berbeda-beda
menurut sifat hubungan di antara pembicara itu (KBBI, 2002:
870). Demikian juga Harimurti Kridalaksana (2001: 191) memberikan
pengertian
kata sapaan adalah kata yang dipakai pada situasi percakapan yang
mungkin berupa morfem, kata, atau frase yang dipergunakan untuk saling merujuk
dalam situasi percakapan dan yang berbeda menurut hubungan antara pembicaranya.
Pemakaian kata sapaan dapat memberikan gambaran sifat hubungan atau kedudukan
sosial dan peranan antar tokoh dalam novel Sirah. Pemakaian kata sapaan
dalam novel Sirah karya AY. Suharyana dapat disimak pada kutipan berikut.
(72) “Lur, nek aku ki egois mung mikir awakku
dhewe, ngapa ndadak keraya-raya mulih neng Jati Dhoyong kene. (S/K/2/)
“Lur (saudara), kalau saya ini egois hanya memikirkan diri sendiri,
mengapa harus bersusah payah pulang ke Jati Dhoyong sini.’
(73) “Prekarane napa ta Mbah?” (S/K/8/)
‘Perkaranya apa Mbah?’
(74) “Penjenengan aja lena lho, Pak.” (S/K/15/)
‘Anda jangan terlena, Pak.’
(75) “Iya, iya. Bener kowe, Bu.” (S/K/15/)
‘Iya, iya. Benar kamu, Bu.’
(76) “Sejatosipun syarat gampil, Lik.” (S/DJD/36/)
‘Sebenarnya syaratnya mudah, Lik.’
(77) “Masak apa Bune?” (S/DJD/39/)
‘Memasak apa, Bu?’
(78) “Apik, Le. Aku cocog. Idemu pancen brilian.” (S/DJD/45/)
‘Bagus, Le. Aku setuju. Idemu memang brilian.’
(79) “Gombal, ah. Ayo gek mlebu, Mas. Saya panas lho.” (S/DJD/48/)
‘Gombal (kain kusam). Ayo segera masuk, Mas. Semakin panas.’
(80) “Mangan wae kok
adoh-adoh ta, Dhik.” (S/DJD/55/)
‘Makan saja jauh-jauh, Dik.’
(81) “Badhe pesen kamar, Bu?” (S/DJD/55/)
‘Mau pesan kamar, Bu?’
(82) “Lha nek Kang Joyo, piye?” (S/SJD/62/)
‘Kalau Mas Joyo, bagaimana?’
(83) Eling, Pakne. Kowe wis tuwa, uteg wis kethul. Apa
bisa nggarap.
(S/SJD/69/)
‘Ingat, Pak. Kamu sudah tua, otak sudah tumpul. Apa bisa mengerjakan.’
(84) “Mbokne…, aku pancen sruwa sruwi sarwa kekurangan.
Tegese,
kurang rupa, kurang bandha, dalah kurang kepinteran.” (S/SJD/71/)
‘Ibu… saya memang sangat-sangat kekurangan. Artinya, kurang tampan,
kurang harta, juga kurang kepintaran.’
(85) “Alon-alon mawon , Nak.” (S/GS/91/)
‘Hati-hati saja, Nak.’
(86) “Nuwun, Ki sanak.”
“Mangga. Ki sanak saking pundhi lan gadhah kersa napa dene kedharang-dharang
minggah Srumbung mriki? (S/GS/97/)
‘Permisi, saudara.’
‘Silakan. saudara dari mana dan punya perlu apa sampai bersusah payah
naik ke Srumbung?’
(87) “Seneng ya, Mbak.” (S/ND/122/)
‘Senang ya, Mbak.’
(88) Ah, Bapak saged kemawon. (S/WP/190/)
‘Ah, Bapak bisa saja.’
(89) Mbok mang blaka ta, Yu. (S/WP/206/)
‘Jujur saja, Yu.’
lxv iii
(90) “Cup sayang, kok muwun. Getun?” (S/WP/212/)
‘Cup sayang, cemberut. Menyesal?’
Data (75) kata Bu,
(77) kata Bune, (85) kata Mbokne adalah pengganti kata
‘Ibu’. Kata sapaan ‘Ibu’ dapat diucapkan oleh seorang anak kepada
ibunya, seseorang kepada wanita yang sebaya dengan ibunya, atau seorang suami
kepada
istrinya. Hubungan kekerabatan yang ditunjukkan dari data (75),
(77), dan (88) di
atas adalah kata sapaan dari seorang suami kepada istrinya yang
dalam novel Sirah diutarakan melalui percakapan Carik Kadri dan Joyo
Dengkek kepada istrinya.
Kata sapaan
sangat beragam dan penggunaannya pun sesuai dengan hubungan kekerabatannya.
Misalnya kata mbah biasa digunakan untuk orang yang
sudah tua atau seusianya sudah pantas memiliki cucu, bisa juga
digunakan untuk
orang yang dianggap sakti. Dalam novel Sirah hubungan
kekerabatan tersebut digambarkan dalam kutipan (73) kata mbah yang
digunakan oleh seorang pemuda
kepada Mbah Marsodik.
Kata sapaan
lain yang menunjukkan macam-macam kekerabatan digambarkan dalam novel Sirah antara
lain data (72) Lur, (74) kata Pak, (76) kata
Lik, (78) kata Le,
(79) kata Mas, (80) kata Dhik, (82) kata kang, (83)
kata Pakne, (85) kata Nak, (87) kata Mbak, (88) kata Bapak,
(89) kata Yu, dan (90) kata sayang.
5. Kata Seru
Kata seru
adalah kata atau frasa yang dipakai untuk mengawali seruan,
bentuk yang tak dapat diberi afiks dan yang tidak mempunyai
dukungan sintaksis dengan bentuk lain, dan dipakai untuk mengungkapkan perasaan
(Harimurti Kridalaksana, 2001: 84 dan 100). Menurut Edi Subroto (1999: 67) kata
seru dapat digunakan untuk mengungkapkan situasi tertentu. Berikut ini adalah
pemakaian kata seru dalam novel Sirah.
(91) “Walah, kuwi mung dinggo kudhung. Gaweane
sing pokok ya potang. (S/K/9/)
‘Itu hanya untuk penutup. Pekerjaannya yang sebenarnya hanya
potang.’
(92) “He-eh, esuk dhele sore tempe, molak-malik.”
(S/K/16/)
‘Ya, tidak bisa dipegang kata-katanya.’
(93) “Lho, kok liwat kene? Omahku rak prapatan mau
menggok ngidul.”
(S/DJD/53/)
‘Lewat sini? Rumahku perempatan tadi belok ke utara.’
(94) “Wah sisihanku mesthi matawalangen anggone
ngenteni tekaku. Soale
mau esuk ora pamit dhisik, ora ngabari nek mulihku telat.” (S/DJD/53/
‘Aduh istriku pasti kebingungan menunggu kedatanganku. Soalnya tadi
pagi tidak pamit dulu, tidak memberitahu kalau pulangku terlambat.’
(95) “Hmm …, bejane duwe brayat sing tentrem.”
(S/DJD/54/)
‘Hmm … beruntungnya punya keluarga yang tentram.’
(96) “Mangan wae kok adoh-adoh ta, Dhik.” (S/DJD/55/)
‘Makan saja jauh-jauh, Dik.’
(97) Weh, kelampahan ujian dhobel.”
(S/DJD/65/)
‘Wah, menempuh ujian dobel.’
(98) Lho piye, penumpang wis jejel riyel kepara
nganti pating grandhul
neng lawang kok bisa-bisane kandha nek kothong. (S/DJD/82/)
‘Bagaimana, penumpang sudah berjejal-jejalan bahkan sampai bergantung
pada pintu kok bisa-bisanya bilang kalau kosong.’
lx x
(99) “Wo jangkrik ki, kok le kesusu kuwi lho.”
‘Jangkrik, jangan terburu-buru begitu.’
(100) “O. Kok Ki sanak priksa bab embah ngantos
trewaca?” (S/GS/99/)
‘Saudara tahu tentang embah sampai mendetail.’
(101) Wah, bener kowe, Mbokne. (S/NG/145/)
‘Benar kamu, Bu.’
(102) “Emm, ya, ya pancen ketemu nalar, Mbokne.”
(S/U/177/)
‘Emm, ya, ya memang bisa dinalar, Bu.’
(103) Ah, Bapak saged kemawon. (S/WP/190/)
‘Ah. Bapak bisa saja.’
(104) Edan! Jebul wis jam telu, ateges olehe
tempur prasasat sedina.
(S/P/214/)
‘Gila! Ternyata sudah jam tiga, artinya yang bertempur ibarat
sehari.’
(105) Lha kok malah ditugasake ngejak Senik. Ha
rak ateges sumuk
ditepasi. (S/P/228/)
‘Malah diberi
tugas mengajak Senik. Ibarat panas dikipasin.’
(106) “Ha, cumplung?” (S/RMM/254/)
‘Ha, cumplung?’
Pemakaian kata
seru lho, lho piye, dan lha kok pada data (93), (98), dan (105)
menjadikan suasana terasa sekali keakraban dalam situasi informal para tokoh
cerita dalam novel Sirah. Kata seru lho dan lha menyatakan
keterkejutan atau keheranan terhadap sesuatu hal yang tidak disangka-sangka.
Kata seru lho dan lha tersebut biasanya terdapat pada awal
tuturan untuk membuka komunikasi. Selain kata seru lho dan lha,
kata seru lain yang juga menyatakan keheranan adalah kata ha yang
terdapat pada data (106). Kata seru wah pada data (101) digunakan untuk
menyatakan kekaguman terhadap sesuatu hal. Sedangkan kata ah pada data
(103) adalah pernyataan mengeluh.
Di samping itu
kata seru dan kata sapaan biasanya digunakan secara terpisah dalam suatu
tuturan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan apabila kata tersebut (kata seru
dan kata sapaan) digunakan secara bersama-sama dalam sebuah tuturan seperti
pada data (96) kata seru kok dan kata sapaan dhik, (100) kata seru
o dan kata sapaan kisanak, (101) wah dan mbokne,
(102) emm dan mbokne, dan data (103) ah dan bapak.
Pemakaian kata seru dan sapaan secara bersamaan dapat lebih menghidupkan
suasana di dalam cerita sehingga seolaholah benar-benar terjadi dalam kehidupan
sehari-hari.
Sedangkan
pemakaian kata seru seperti pada data (91) walah, (92) he-eh,
(94) wah, (95) hmm, (97) weh, (99) wo,
dan (104) edan menyatakan keterkejutan
disertai perasaan “jengkel” atau “heran” pada diri penutur. Selain
itu pemakaian
kata-kata seru tersebut dapat memperjelas gambaran situasi cerita.
6. Kata-kata Bermakna kasar
Kata-kata kasar
adalah kata tidak sopan, keji berarti sangat rendah, tidak
sopan, dan kata-kata kotor berarti jorok, menjijikan, melanggar
kesusilaan (KBBI,
2002: 511, 527, 599). Dalam novel Sirah terdapat juga
kata-kata bermakna kasar
untuk menghidupkan situasi dengan kondisi para pelaku pada waktu
berdialog.
(107) “Wo dhasar babon!” (S/GS/91/)
‘Dasar babon (ayam betina).’
(108) “Wo, dhasar tukang becak wedhus.” (S/ND/139/)
‘Dasar tukang becak kambing.’
Data (105) dan
(106) kata kasar babon ‘ayam betina’, dan wedhus ‘kambing’ secara
referensial mengacu kepada binatang tertentu. Dalam keadaan marah
seperti itu terjadilah penyelewengan arti. Kata babon ‘ayam betina’ dan
wedhus ‘kambing’ tidak digunakan oleh pengarang untuk menyebut binatang sebagaimana
mestinya, tetapi dimaksudkan untuk menyebut orang yang sedang dimarahi.
Dalam hal ini pengarang juga menggunakan gaya bahasa metafora.
(109) Dasar budheg karo picek, panjaluk sing ora
umum iku disaguhi kanthi
senenging ati. (S/GS/118/)
‘Dasar tuli dan buta, permintaan yang tidak wajar itu disanggupi dengan
senang hati.’
Data (109) kata
budheg ’tuli’ dan picek ’buta’ sebagai ungkapan kasar. Kata budheg
’tuli’ dan piceg ’buta’ pada kutipan di atas digunakan pengarang untuk
menggambarkan betapa bodohnya tokoh Joyo Dengkek yang telah menyetujui
permintaan Mbah Kenci untuk meniduri istrinya.
(110) Dasar tukang becak gombal. (S/ND/133/)
‘Dasar tukang becak gombal (kain bekas yang kusam).’
Kata gombal yang
berarti kain bekas, secara referensial mengacu kepada benda, yaitu kain bekas.
Dalam data (110) kata gombal ’kain bekas yang kusam’ digunakan secara
metaforis. Maksudnya kata gombal ’kain bekas’ yang mengacu
pada kain tertentu itu digunakan sebagai pembanding pada tuturan dasar
tukang
becak gombal ‘dasar
tukang becak gombal’. Dalam novel Sirah kata gombal ’ kain bekas
yang kusam’ pada data (110) oleh penutur digunakan untuk menyampaikan
kekesalannya kepada tokoh Joyo Dengkek (tukang becak) karena
tidak mau berhenti ketika di stop.
(111) “Wo, calon lurah
kok kere.” (S/U/172/)
‘Calon lurah miskin.’
Penyebutan kata
kasar kere ’pengemis’ pada data (111) tidak dimaksudkan untuk menyebut
profesi tertentu seseorang. Munculnya kata kere ’pengemis/miskin’
tersebut karena penutur (tokoh Ngadiyo) merasa jengkel terhadap Joyo Dengkek
yang mencalonkan lurah tanpa modal. Pilihan kata kere ’pengemis/miskin’
oleh pengarang digunakan secara metafora. Maksudnya Joyo Dengkek sebagai calon
lurah yang tanpa modal disamakan dengan sifat pengemis.
7. Sinonim
Sinonim adalah
kata-kata yang memiliki makna yang sama. Menurut Gorys Keraf (2006: 35-36), ada
tiga faktor penyebab terjadinya sinonim, yaitu proses penyerapan, tempat
tinggal, dan makna emotif dan evaluatif. Berikut ini beberapa data yang
menggunakan sinonim dalam novel Sirah.
(112) Carike Kadri, tulung dicanthet yen wur-wur sing arep
takwenehake
para warga dudu sogok utawa suap. (S/K/7/)
’Carik Kardi, tolong dicatat kalau pembagian uang yang akan saya
berikan kepada warga bukan suap.’
(113) “Pak Boiman! Nek omong ki ditata lho, aja mung waton ngobahake
lambe utawa
waton njeplak.
(S/K/12/)
‘Pak Boiman! Kalau bicara itu dijaga, jangan hanya asal menggerakkan
bibir atau asal bicara.’
(114) Mung eman dene Kadri kudu kuciwa, alias keplok
tangan sesisih.
(S/ND/47/)
‘Namun sayang Kadri harus kecewa, alias bertepuk sebelah tangan.’
(115) ”Ning kanggoku ora
papa, wong jenenge ki nglakoni. Mesthi wae rekasa lan sengsara.”
(S/ND/142/)
‘Tetapi menurutku tidak apa-apa, namanya juga melaksanakan. Sudah tentu
berat.’
(116) Wewayangan dadi Bu Lurah lan urip moncer kajen keringan
sanalika ambyar, ajur dadi sewalang-walang. (S/RMM/262/)
‘Khayalan menjadi Bu Lurah dan hidup makmur terhormat seketika hancur
menjadi berkeping-keping.’
Data (112)
sampai data (116) ditemukan adanya sinonim kata dengan kata,
sinonim frasa dengan frasa. Pada data (112) kata sogok ‘suap’
bersinonim dengan
kata suap, data (113) waton ngobahake lambe ‘asal
menggerakkan bibir’ besinonim dengan kata njeplak ‘asal bicara’, data
(114) kata kuciwa ‘kecewa’ bersinonim dengan keplok tangan sesisih ‘bertepuk
sebelah tangan’, data (115) kata rekasa bersinonim dengan kata sengsara,
data (116) kata ambyar ‘hancur’ bersinonim dengan kata ajur ‘hancur’
8. Ungkapan
Ungkapan adalah
(a) konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota
mempunyai makna yang ada karena bersama yang lain; (b) konstruksi yang maknanya
tidak sama dengan gabungan makna anggotaanggotanya; (c) bahasa dan dialek yang
khas menandai suatu bangsa, suku atau kelompok (Harimurti Kridalaksana, 2001:
80). Adapun contoh ungkapan dalam novel Sirah adalah sebagai berikut.
(117) Siji-sijia ora ana sing bisa mbayangake yen wong sing
dianggep pidak
pedarakan kuwi
reka-reka njago lurah.
(S/K/20/)
‘Tidak ada satupun yang bisa membayangkan kalau orang yang dianggap
rendah itu berusaha menjagokan Lurah.’
Pada data (117)
ungkapan pidak pedarakan, pidak ‘rendah’ dan pedarakan
‘tak jelas asal usulnya’ bermakna orang berasal dari golongan orang
yang sangat
rendah. Ungkapan tersebut dimanfaatkan pengarang untuk
menggambarkan Joyo Dengkek yang bekerja sebagai pesuruh ikut mencalonkan
sebagai lurah.
(118) Dianggep wae timun wungkuk jaga imbuh. Tinimbang
ora ana. (S/K/21/)
‘Dianggap saja si bungkuk sebagai pelengkap. Daripada tidak ada.’
Data (118)
ungkapan timun wungkuk jaga imbuh, timun wungkuk ‘Si bungkuk’
yang dimaksudkan adalah tokoh Joyo Dengkek yang memiliki punuk dan jaga
imbuh ‘untuk persediaan’ maksudnya adalah orang yang digunakan untuk
cadangan (kalau ada keadaan yang memaksa). (119) Boten ngrembag menika, Pak…
prasasat cebol nggayuh lintang.” (S/SJD/62/)
‘Tidak membahas itu, Pak…bagaikan si Cebol menggapai bintang.’
Data (119)
ungkapan cebol nggayuh linyang ‘si Cebol menggapai bintang’
bermakna orang yang mencoba meraih cita-cita yang mustahil, yang
sudah jelas tidak mungkin akan tercapai. Ungkapan tersebut digunakan pengarang
untuk menggambarkan keadaan Joyo Dengkek yang hanya seorang pesuruh dan tidak berpendidikan
namun dia berambisi untuk menjadi seorang lurah.
(120) Pokoke rawe-rawe
rantas malang-malang putung. (S/GS/111/)
‘Pokoknya maju terus pantang menyerah.’
Data (120)
ungkapan rawe-rawe rantas malang-malang putung ‘bermakna
segala hambatan akan diatasi’. Pada ungkapan tersebut menggambarkan
semangat
Joyo Dengkek untuk meraih ambisinya tersebut apapun rintangan yang
akan dia
hadapi. Melalui ungkapan tersebut tokoh Joyo Dengkek berharap
mendapat keberuntungan.
(121) Kejaba kuwi Joyo Dengkek uga rumangsa kongas, sok adigang
adigung adiguna kaya iyak-iyaka. (S/RMM/ 264/)
‘Kecuali Joyo Dengkek bersikap sombong, sebab merasa kuat, besar, kuasa,
dan pandai.’
Data (121)
ungkapan adigang adigung adiguna, adigang ‘merasa kuat’, adigung ‘merasa
besar atau kuasa’, dan adiguna ‘merasa pandai. Bermakna orang yang
bersikap sombong, sebab merasa kuat, besar, kuasa, dan pandai. Ungkapan tersebut
menggambarkan Joyo Dengkek yang merasa dirinya mampu untuk mencapai
keinginannya meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan kemampuan yang
sebenarnya.
c. Pemakaian Gaya Bahasa dalam Novel Sirah Karya AY.
Suharyana
Gaya bahasa
merupakan salah satu ciri penting di dalam teks sastra. Gaya bahasa banyak
digunakan dalam teks sastra karena bermanfaat untuk menghidupkan makna, memberi
citraan yang khas, membuat gambaran yang lebih jelas, serta membuat
kalimat-kalimat lebih dinamis dan hidup (Rachmad Djoko Pradopo, 1997: 93).
Beberapa jenis majas yang dipergunakan pengarang dalam novel Sirah antara
lain adalah majas perbandingan, majas penegasan, majas pertentangan, dan majas
sindiran.
1. Simile
Simile atau pepindhan
adalah pengungkapan dengan menggunakan perbandingan eksplisit yang
dinyatakan dengan kata depan dan penghubung seperti layaknya, bagaikan,
seperti, bagai. Di bawah ini adalah beberapa analisis gaya bahasa perumpamaan (simile)
dalam dalam novel Sirah:
(122) Swasana cep klakep kaya orong-orong kepidak.
(S/K/10K)
‘Suasana terdiam seketika.’
(123) “Ora. Gampang kok, mung kaya nglumahake epek-epek
tangan.” (S/K/13/)
‘Tidak. Mudah saja, hanya seperti membalikkan telapak tangan.’
(124) Lakune manteb pindha jenderal bintang lima sing
mentas menehi
ceramah marang perwira andhahane. ((S/K/27-28/)
‘Jalannya mantab bagaikan jenderal berbintang lima yang selesai memberi
pengarahan kepada perwira bawahannya.’
(125) Tangane sing nyeceg tegesan ketara gemeter kaya dene
pesakitan ngenteni vonis hakim. (S/DJD/35/)
‘Tangannya yang mematikan putung rokok terlihat gemetar seperti halnya
tersangka menunggu vonis hakim.’
(126) Sapa kasil nglungguhi kursi lurah ateges kaya dene ratu
kang apa
wae dhawuhe tansah disendikani dening kawula tanpa ana sing wani wangsulan
utawa nggresula. (S/DJD/41/)
‘Siapa yang berhasil menduduki kursi lurah ibarat ratu yang apa
saja perintahnya akan selalu dilaksanakan oleh rakyat tanpa ada yang berani
membantah atau menggerutu.’
(127) Sing gawe kemrungsung ki lakune colt prasasat nggremet
kaya keong
saking rindhike, gek sedhela-sedhela mandheg saperlu thethek. (S/SJD/77/)
‘Yang membuat terburu-buru itu jalannya colt sangat lamban, apalagi
sebentar-sebentar berhenti untuk mencari penumpang.’
(128) Kosok baline, marang andhahane julig lan culika, kejeme
kaya iblis, malah ora wigah-wigih mateni wong sing dinggep dadi pepalang utawa
klilip. (S/GS/114/)
‘Kebalikannya, kepada bawahannya masa bodoh dan tega, kejamnya seperti
iblis, bahkan tidak segan-segan membunuh orang yang dianggap menjadi penghalang
atau penghambat.’
(129) Awit Senik
ngrumangsani, tanpa srana iku prasasat cecak nguntal cagak alias tangeh
lamun. (S/ND/121/)
‘Senik mulai merasa, tanpa sarana itu mustahil alias tidak
mungkin.’
(130) Ing ngarep lemari kaca sing wis burem iku dheweke
mingar-minger kaya wong kenthir. (S/ND/124/)
‘Di depan almari kaca yang sudah buram dirinya bergaya seperti
orang gila.’
(131) Nek ora nganggo cumplunge Pak Pranowo sengara bisa nggarap
lan wong tulisanku wae pating cekeker kaya thokolan pencak je.
(S/U/159/)
‘Kalau tidak pakai cumplungnya Pak Pranowo mustahil bisa mengerjakan
tulisanku saja tidak karuan seperti kecambah.’
(132) Saya maneh sedulur utawa tangga kiwa tengene sing melu
ujian, kabeh dijak nganti kaya ngeterake nganten. (S/U/171/)
‘Apalagi saudara atau para tetangga yang mengikuti ujian, semua diajak
seperti mengiring pengantin.’
(133) Metu saka ruang wawancara, Wijayani lemes. Rasane kaya
walang ilang gapite. (S/WP/185-186/)
‘Keluar dari ruangan wawancara, Wijayani lemas. Rasanya seperti kehilangan
tenaga.’
(134) Tim juri ya ngono, katon galak kayadene hakim ngadhepi
pesakitan. (S/WP/189/)
‘Tim juri juga begitu, kelihatan ketus sama halnya hakim menghadapi
pesakitan.’
(135) Beda karo sing dadi pikirane sepuluh calon lurah sing
ngenteni
prasasat kaya senam jantung, bola-bali nglirik jam. (S/WP/193/)
‘Berbeda dengan yang menjadi pemikiran sepuluh calon lurah yang menunggu
sampai panik, sebentar-sebentar melirik jam.’
(136) Pindha layangan pedhot Joyo dengkek tatas,
lakune njarag ora metu dalan gedhe utawa tengah desa. (S/WP/201/)
‘Bagaikan layang-layang putus Joyo Dengkek lemas, jalannya sengaja tidak
melewati jalan besar atau di tengah desa.’
(137) Senik digawa mabur
nembus akasa dening Widodo, wusana pindha thathit dijak nylorot, nibani
bumi kanthi awak kaya remuk-remuka. (S/WP/212)
‘Senik dibawa kabur menembus angkasa oleh Widodo, bagaikan kilat, menyambar
badan sampai hancur.’
(138) Pindha kebo dikelohi Joyo Dengkek ngadeg.
Sir! (S/RMM/264/)
‘Seperti kerbau yang dikendalikan Joyo Dengkek berdiri.’
(139) Dhadhane kemesar kaya diiris siladan. (S/RMM/264/)
‘Dadanya berdesir bagaikan disayat pisau.’
Gaya bahasa
simile dalam novel Sirah karya AY. Suharyana dipakai untuk
menggambarkan keadaan atau situasi secara mudah dan lengkap.
Kalimat swasana cep klakep kaya orong-orong kepidak ‘suasana terdiam
seperti serangga terinjak’ pada data (122) dapat dinyatakan sebagai gaya bahasa
simile. Dalam hal ini suasana yang tiba-tiba hening/terdiam disamakan dengan
binatang orongorong yang terinjak. Gaya bahasa simile yang demikian juga
terdapat pada data
(123) kalimat gampang kok, mung kaya nglumahake epek-epek tangan
‘mudah kok, hanya seperti membalikan telapak tangan’. Dalam hal ini
persoalan yang mudah disamakan dengan mudahnya membalikkan telapak tangan. Pada
data (122) dan (123) simile dapat terlihat melalui perbandingan eksplisit
dengan menggunakan kata kaya ‘seperti’. Perbandingan eksplisit semacam
itu juga terdapat pada data (125) tangane sing nyeceg tegesan ketara gemeter
kaya dene
pesakitan ngenteni vonis hakim, (126) Sapa kasil nglungguhi kursi lurah ateges kaya dene ratu,
(127) prasasat nggremet kaya keong, (128) kejeme kaya iblis, (130)
dheweke mingar-minger kaya wong kenthir, (131) tulisanku wae pating cekeker
kaya thokolan pencak je, (132) kabeh dijak nganti kaya ngeterake nganten,
(133) rasane kaya walang ilang gapite, (134) katon galak kayadene hakim
ngadhepi pesakitan, (135) prasasat kaya senam jantung, dan (139) dhadhane
kemesar kaya diiris siladan. Perbandingan eksplisit dengan menggunakan
kata pindha ‘bagaikan’ tampak pada data (136) pindha layangan pedhot
Joyo dengkek tatas, (137) wusana pindha thathit dijak nylorot, dan
(138) pindha kebo dikelohi.
Unsur
pembanding atau unsur yang digunakan untuk membandingkan dalam gaya bahasa
simile bermacam-macam variasinya. Unsur pembanding berupa sifat , watak, perilaku
orang atau nama tokoh wayang atau yang lain tampak pada data (124) lakune
manteb pindha jenderal bintang lima ‘jalannya mantab bagaikan jenderal
berbintang lima’.
Selain berupa
sifat, watak, perilaku orang atau nama tokoh wayang, juga
berupa hewan/binatang. Hal ini tampak pada data (122) swasana
cep klakep kaya
orong-orong kepidak ‘suasana
terdiam seperti kecoak keinjak.’, data (127) prasasat nggremet kaya keong ‘bagaikan
merangkak seperti keong’, data (129) prasasat cecak nguntal cagak ‘ibarat
cicak menelan cagak’, dan data (133) Rasane kaya walang ilang gapite ‘rasanya
seperti kehilangan tenaga.
2. Metafora
Metafora adalah
bentuk kias yang paling sering dipakai, terjadi bila kata yang satu dipakai
untuk mengganti kata lain berdasarkan kemiripan arti atau kontras, dipandang
sebagai perumpamaan tetapi tanpa menyebut dasar perbandingan atau partikel
pembandingnya (Dick Hartoko dan Rahmanto dalam Sumarlam, 2004: 56). Sejalan
dengan batasan tersebut (Gorys Keraf 2006: 139) merumuskan metafora adalah semacam
analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang
singkat: bunga bangsa, buaya darat,
buah hati, cindera mata, dan sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak
mempergunakan kata-kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya. Berikut
ini beberapa data gaya bahasa metafora dalam novel Sirah. (140) Lumrah
yen njur tuwuh pangacene wong. Desa Jati Dhoyong kasil nyithak kere.
(S/K/8/)
‘Wajar kalau menimbulkan ejekan orang. Desa Jati Dhoyong berhasil mencetak
gelandangan.’
(141) Wis dudu wadi maneh yen Lurah mono kena diarani “raja
kecil” ing wewengkon desa. (S/K/15)
‘Sudah bukan rahasia lagi kalau Lurah bisa disebut raja kecil dalam
ranah desa.’
(142) Sanajan lurah mung ongkang-ongkang nanging kecipratan
rejeki. (S/DJD/42/)
‘Meskipun lurah hanya ongkang-ongkang tetapi ikut merasakan rejeki.’
(143) “Apik, Le. Aku cocok. Idemu pancen brilian.”
(S/DJD/45/)
‘Baik, Le. Aku setuju. Idemu memang berlian.’
(144) Wijayani, ah! Jeneng kuwi pancen tau ngenggani ing
pojok atine sing paling jero. (S/DJD/47/)
‘Wijayani, ah! Nama itu memang pernah menempati di sudut hatinya yang
terdalam.’
(145) “Neng Jakarta aku ceker-ceker, gaweyan apa wae
taklakoni pokoke bisa urip.” (S/DJD/50/)
‘Di Jakarta saya mengais-ngais, pekerjaan apa saja saya jalani pokoknya
bisa hidup.’
(146) Yen pancen ora lulus alias gagal dadi lurah kapeksa bali
neng Jakarta, ceker-ceker golek dhuwit kanthi sawernaning cara. (S/WP/186/)
‘Kalau memang tidak lulus atau gagal menjadi lurah terpaksa kembali
ke Jakarta mengais mencari uang dengan berbagai cara.’
(147) “Sukur. Aku bungah
dene pikiranmu kebukak. (S/SJD/73/)
‘Syukur. Saya senang akhirnya pikiranmu terbuka.’
(148) Dhasar mata dhuwiten. (S/SJD/82/)
‘Dasar mata duitan.’
(149) Dalane saya munggah, lan terus ndeder, karang ya ndungkap sikile
gunung. (S/GS/92/)
‘Jalannya semakin naik, dan terus menanjak, tidak terasa hampir di kaki
gunung.’
(150) Wewayangane Joyo Dengkek, anak-anake, tekan Triman
dibuwang adoh, adoh banget, mundhak ngregoni nyecep madune asmara kang salawase
urip lagi sepisan iki dirasakake. (S/WP/212/)
‘Khayalannya Joyo Dengkek, anak-anaknya, sampai Triman dibuang jauh,
jauh sekali, pilih menikmati indahnya cinta yang selamanya hidup baru sekali
ini dirasakan.’
Gaya bahasa
metafora yang terdapat dalam novel Sirah karya AY. Suharyana tampak pada
data (140) nyithak kere ‘membuat gelandangan’. Kata nyetak ‘mencetak’
yang seharusnya ditujukan untuk benda mati atau barang, tetapi dalam tuturan tersebut
ditujukan untuk gelandangan yang objeknya adalah manusia.
Selain itu gaya
bahasa metafora juga terdapat pada data (141) raja kecil. Raja kecil kecil
dalam tuturan tersebut bermksud membandingkan kekuasaan seorang lurah yang
lebih kecil jika dibandingkan dengan kekuasaan seorang raja. Persamaannya lurah
dan raja yaitu sama-sama mempunyai kewenanganmemimpin rakyat.
Pada data (142)
terdapat tuturan kecipratan rejeki merupakan gaya bahasa
metafora. Kata kecipratan ‘kepercikan’ biasanya dipakai
sebagai ungkapan yang
berkaitan dengan air. Akan tetapi kecipratan rejeki dalam
tuturan tersebut mengandung pengertian ikut merasakan atau menerima rejeki yang
didapatkan orang lain.
Gaya bahasa
metafora lain yang terdapat dalam novel Sirah karya AY. Suharyana tampak
pada data (143) idemu pancen brilian ‘idemu memang brilian’.
Dalam hal ini ide ‘pemikiran’ disamakan dengan berlian yang
berkilau. Data (144) pada tuturan pojok atine sing paling jero ‘sudut
hatinya yang terdalam’.
Dalam hal ini
terdapat kemiripan antara dua hal ati ‘perasaan’ yang berdemensi abstrak
disamakan dengan sesuatu yang konkret seperti halnya sebuah ruangan yang
memiliki sudut. Ungkapan metaforis tersebut dimanfaatkan untuk
menggambarkan bahwa Carik Kardi pernah sangat mencintai Wijayani.
Data (145) dan (146) pada kata ceker-ceker ‘mengais-kais’ biasanya
dilakukan oleh hewan seperti ayam untuk mencari makanan. Dalam tuturan di atas
mengandung pengertian orang yang melakukan apa saja untuk mendapatkan
penghasilan. Data (147) pikiranmu kebukak ‘pikiran terbuka’ kata pikir
‘pikiran’ sesuatu yang abstrak disamakan sesutu yang konkret seperti pintu yang
dapat di buka.
Ungkapan pikiranmu
kebukak ‘pikiran terbuka’ dalam tuturan tersebut mengandung pengertian
dapat berpikir dengan baik. Data (148) tuturan mata dhuwiten ‘mata
duitan’ tidak berarti mata yang ada duitnya. Akan tetapi tuturan tersebut
ditujukan kepada orang yang selalu menilai sesuatu dengan uang. Data (149)
tuturan ndungkap sikile gunung ‘melintasi kaki gunung’ dalam hal ini gunung
seakan disamakan seperti manusia memiliki kaki. Sama halnya pada data (150)
tuturan madune asmara ‘indahnya cinta’ yang mengibaratkan asmara seperti
lebah yang menghasilkan madu.
3. Metonemia
Metonemia
adalah bentuk pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi
merk, ciri khas atau menjadi atribut. Seperti pada data berikut.
(151) Kendharaane wae Tiger 2000 sing isih anyar gres,
menganggo clana jean biru tua, T-shirt ireng polos ditutupi jaket kulit.
(S/DJD/33/)
‘Kendarannya saja Tiger 2000 yang masih baru, memakai celana jeans biru
tua, T-shirt hitam polos ditutupi jaket kulit.’
(152) GL Pro mlaku, papane digenteni dening
tukang ojeg liyane sing nganggo sepedha motor bebek. (S/GS/90/)
‘GL Pro berjalan, tempatnya diganti oleh tukang ojek lain yang memakai
sepeda motor bebek.’
Pada data (151)
dan (152) di atas menggunakan gaya bahasa metonimia yaitu Tiger 2000 dan GL Pro
langsung mengacu ke benda yang disebut sepeda motor dan sepeda motor tersebut
merknya Tiger 2000 dan GL Pro. Maka yang di maksud data di atas adalah sepeda
motor Tiger 2000 dan sepeda motor GL Pro.
4. Litotes
Litotes adalah
gaya bahasa yang mengecilkan sesuatu hal. Jadi juga mengandung pertentangan
antara kenyataan dan perkataan. Dipakai untuk meredahkan diri, seperti pada
data berikut.
(153) Sepisan maneh dheweke pamit lan enggal-enggal budhal
ninggal gubuge. (S/SJD/73/)
‘Sekali lagi dirinya berpamitan dan cepat-cepat pergi meninggalkan gubugnya.’
(154) “Menika wonten hadiah sekedhik, mbok menawi saged
kagem tambah-tambah nyekapi persyaratan calon lurah utawi kagem blanja.” (S/U/158/)
‘Itu ada hadiah sedikit,
siapa tahu bisa untuk tambahan mencukupi persyaratan calon lurah atau untuk
belanja.’
Pada data (153)
dan (154) kata gubug dan hadiah sekedhik ’hadiah sedikit’ termasuk
gaya bahasa litotes yang mengandung pertentangan antara kenyataan dan perkataan
yaitu, sebuah rumah diibaratkan sebagai gubug dan hadiah sekedhik
’hadiah sedikit’ sebenarnya hanya untuk merendahkan diri, sebab yang diacu
oleh kata hadiah sekedhik ’hadiah sedikit’ barang kali sesuatu yang diberikan
itu berharga.
5. Hiperbola
Hiperbola (Huperbola;
huper,di atas, melampaui, terlalu, ballo, melempar) adalah cara
pengungkapan dengan melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan itu menjadi
tidak masuk akal. Gaya bahasa hiperbola ini dipergunakan oleh pengarang untuk
menyangatkan atau menekankan suatu pernyataan, seperti pada data berikut.
(155) “Sampeyan niku, Nak, gawe jantung ajeng copot.” (S/GS/92/)
‘Kamu itu, Nak, buat jantung mau lepas.’
(156) Arepa Joyo Dengkek pintere sundhul langit, ning
keputusan neng tangane warga. (S/WP/183/)
‘Meskipun Joyo Dengkek pintarnya selangit, tapi keputusan di tangan
warga.’
(157) Kagete kaya disamber bledheg. (S/RMM/261/)
’Terkejutnya seperti disambar petir.’
Data (155)
sampai data (156) merupakan gaya bahasa hiperbola pada data (155) gawe
jantung ajeng copot ‘buat jantung mau lepas’ dianggap sangat berlebihan
karena tidak ada orang yang terkejut bisa membuat jantung terlepas.
Pada data (156)
tuturan pintere sundhul langit ‘pintarnya selangit’ merupakan pernyataan
yang berlebih-lebihan untuk menggambarkan bahwa seseorang itu benar-benar
sangat pandai. Data (157) kalimat kagete kaya disamber bledheg ’terkejutnya
seperti disambar petir’ hal ini sangat berlebihan orang yang terkejut diumpamakan
seperti disambar petir.
6. Personifikasi
Personifikasi
atau penginsanan adalah cara pengungkapan dengan menjadikan benda mati atau
tidak bernyawa sebagai manusia. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu
corak khusus dari metafora yang mengiaskan benda-benda mati, bertindak,
berbuat, berbicara seperti manusia, atau (Dick Hartoko dan Rahmanto, dalam
Sumarlam, 2004: 57) membatasi personifikasi sebagai bentuk kiasan yang
menampilkan benda-benda atau konsep abstrak sebagai pribadi (persona) manusia
dengan sifat manusiawi. Seperti pada data berikut.
(158) Let sedhela Tiger 2000 nggreng …., wusana nggeblas diuntal
wengi sing saya sampurna. (S/K/9/)
‘Tidak lama kemudian Tiger 2000 nggreng …., seketika menghilang ditelan
malam.’
Pada data (158)
di atas menggunakan gaya bahasa personifikasi tuturan diuntal wengi sing
saya sampurna ‘seketika menghilang ditelan malam’. Diuntal ’di
makan’ biasa dilakukan oleh makhluk hidup seperti manusia.
(159) Nalika wong loro nyecep maduning asmara, ing njaba mbulan
tanggal limalas katon mesem. (S/DJD/58/)
‘Ketika dua orang menikmati indahnya cinta, di luar bulan tanggal lima
belas terlihat senyum.’
(160) Saiki Joyo Dengkek
krasa kepenak, malah lungguh leyeh-leyeh. Sembribiting angin kang mlebu saselane
kaca cendhela nyapu pipi dalah dolanan rambut. (S/SJD/85/)
‘Sekarang Joyo Dengkek merasa enak, malahan duduk bersantaisantai.
Semilir angin yang masuk di sela kaca jendela menyapu pipi
hingga bermain rambut.’
(161) Sing keprungu mung kemlesete jangkahe Joyo Dengkek, utawa
godhong sing pating kresek obah dienggo dolanan angin.
(S/SJD/94/)
‘Yang terdengar hanya suara langkahnya Joyo dengkek atau daun yang
berhamburan digerakkan angin.’
(162) Surupe terus lumaku. Wengine pancen wis
anguk-anguk ing
sanjabane lawang, sedhela maneh ngratoni bawana nggenteni awan
sing wis lengser. (S/SJD/101/)
‘Senja terus berjalan. Malam memang sudah mengintip di luar pintu,
sebentar lagi menyelimuti buana menunggu siang yang sudah lengser.’
(163) Ya mung angin semribit wae kang nampeg rai lan dolanan
rambute
Senik njalari
kabur ngiwa nengen. (S/P/236/)
‘Ya hanya angin semeribit yang menyentuh wajah dan bermain
rambutnya Senik hingga berterbangan ke kanan kiri.’
(164) Lan nalika tangane Widodo mondhog munggah kasur, mbulan
satugel
mesem kaya-kaya
nggeguyu lan nyekseni wong sakloron kang uleng
kagubel hardening asmara peteng. (S/P/243/)
‘Dan ketika tangannya Widodo bergerak naik ke kasur, bulan setengah
tersenyum seperti menertawakan dan menyakskan sepasang orang
yang terbuai asmara gelap.’
(165) Wong tuwa kuwi blas ora nggape lan tanpa pamit dheweke
ngleler
lunga, ilang diuntal wengi. (S/RMM/253/)
‘Orang tua itu sama sekali tidak menghiraukan dan tanpa pamit dia
langsung pergi, hilang tidak kelihatan.’
Gaya bahasa personifikasi lain yang terdapat dalam novel Sirah
karya AY.
Suharyana tampak pada data (159) kalimat mbulan tanggal limalas
katon mesem
‘bulan tanggal lima belas kelihatan tersenyum’, (160) kalimat Sembribiting
angin
lxxx viii
kang mlebu saselane kaca cendhela nyapu pipi dalah dolanan rambut ‘semilir
angin yang masuk disela kaca jendela menyapu pipi dan memainkan
rambut’
(161) godhong sing pating kresek obah dienggo dolanan angin ‘daun
yang
bergemerisik bergerak dibuat mainan angin’, (162) Surupe terus
lumaku. Wengine
pancen wis anguk-anguk ‘senja terus berjalan. Malam memang sudah mengintip’,
(163) angin semribit wae kang nampeg rai lan dolanan rambute
Senik ‘angin
semeribit saja yang menyentuh wajah dan bermain rambutnya Senik’,
(164)
mbulan satugel mesem ‘bulan
setengah senyum’, dan (165) ilang diuntal wengi
‘hilang ditelan malam’.
7. Pars prototo
Pars prototo adalah sinekdoke berupa ungkapan sebagian dari objek
untuk
menunjuk keseluruhan objek tersebut, seperti data di bawah ini:
(166) Saben irung ing Jati Dhoyong wis apal sapa
lan ngendi omahe Joyo
Dengkek.
(S/K/22/)
‘Setiap orang di Jati Dhoyong sudah mengetahui siapa dan di mana
rumahnya Joyo Dengkek.
Data (166) kata irung ‘hidung’ sebenarnya merupakan bagian
dari keseluruhan manusia. Sebenarnya pengarang dapat saja mengatakan “setiap terhadap
pembaca, maka digunakanlah gaya bahasa pars pro toto dengan penyebutan saben
irung ‘setiap hidung’ untuk penyebutan setiap orang.
(167) Hebat gundhulmu. Nek ora nganggo cumplunge Pak
Pranawa… (S/U/159/)
‘Hebat kepalamu. Kalau tidak pakai cumplungnya Pak Pranawa’
Data (167) kata
gundhulmu ‘kepalamu’ merupakan bagian dari keseluruhan manusia. Dalam
hal ini pengarang ingin menunjukkan bahwa hubungan Joyo Dengkek dengan pegawai
kelurahan sedemikian dekat dan akrab sehingga digunakan kata gundhulmu ‘kepalamu’.
8. Eponim
Eponim atau pepindhan
adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang yang
namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga
nama itu dipakai untuk menyatakan sifat. Di bawah ini merupakan data penggunaan
gaya bahasa eponim.
(168) Pawakane gagah gedhe dhuwur kanthi brengos pindha Raden Gathutkaca.
(S/K/10/)
‘Postur tubuhnya tinggi besar dengan kumis seperti Raden Gathutkaca.’
Data (168) pindha
Raden Gathutkaca ‘seperti Raden Gathutkaca’ merupakan gaya bahasa eponim,
Raden Gathutkaca terkenal dengan postur tubuhnya tinggi besar dan berkumis
disamakan dengan postur yang dimiliki oleh Pak Boiman.
(169) Wusana pindha Bethara Kamajaya lan Dewi Ratih kekarone
tumuju ruang resepsi. (S/P/239/)
‘Bagaikan Batara Kamajaya dan Dewi Ratih keduanya menuju ruang resepsi.’
Data (169) Bethara
Kamajaya dan Dewi Ratih terkenal dengan ketampanan dan
kecantikannya, dimanfaatkan pengarang sebagai gambaran kepada Widodo dan Senik
yang terlihat tampan dan cantik.
9. Repetisi
Repetisi atau purwakathi
basa (lumaksita) merupakan perulangan bunyi, suku kata, kata, bagian
kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang
sesuai (Sumarlam, 2003: 35). Berikut ini beberapa data yang menggunakan
repetisi dalam novel Sirah.
(170) “Mbokne…, aku pancen sruwa sruwi sarwa kekurangan. Tegese,
kurang rupa, kurang bandha, dalah kurang kepinteran. (S/SJD/71/)
‘Bune …, saya memang apa-apa serba kekurangan. Artinya, kurang tampan,
kurang harta, juga kurang kepintaran.’
Pada data (170)
di atas terdapat repetisi tautotes dalam hal ini, kata kurang diulang
tiga kali secara berturut-turut untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam
konteks tuturan.
(171) “Wo dhasar babon!”
“Sanes babon, Pak. Kula niki jago.”
“Jago napa?”
“Jago ngebut. Ning saged ugi jago sing bingung
nggoleki babon. (S/GS/91/)
‘Dasar babon (perawan)!’
‘Bukan ayam betina, Pak. Saya ini jago (jejaka).’
‘jago apa?’
‘jago ngebut. Tapi juga bisa jejaka yang bingung mencari ayam
betina.’
Dalam data
(171) di atas terdapat repetisi epizeuksis, kata babon ‘perawan’
dan jago (jejaka) diulang beberapa kali secara
berturut-turut untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan.
(172) Kabeh meneng, kabeh anteng.
(S/GS/108/)
‘Semua diam, semua tenang.’
(173) Ewasemono Ngadiyo
menehi wedang sakgelas banjur ngobrol ngalor ngidul nganti
jam wolu nalika bel tandha mlebu keprungu. (S/U/172/)
‘Pada waktu itu Ngadiyo memberi air segelas lalu berbincang ke sana
kemari sampai jam delapan ketika bel tanda masuk berbunyi.’
Pada data (172)
dan (173) adanya pengulangan suku kata /ng/ bunyi sengau atau bunyi penggemaan
suku kata akhir kata meneng ‘diam’ dan anteng ‘tenang’. Selain
bunyi sengau data (172) terdapat perulangan kata kabeh ’semua’ yang
diulang dua kali.
(174) Tanpa ana wong keplok.
Tanpa ana wong alok.
Tanpa ana wong mbengok.
(S/P/231/)
‘Tanpa ada orang bertepuk’
‘Tanpa ada orang menyapa’
‘Tanpa ada orang berteriak’
Data (174) di
atas terjadi repetisi anafora berupa pengulangan tanpa ana wong ‘tanpa
ada orang’ pada baris pertama sampai dengan ketiga. Repetisi itu dimanfaatkan
pengarang untuk menggambarkan Jaya Dengkek (175) O, nikmate tumindak
lekoh njejemberi, endah saresmi bureng remengremeng.
(S/P/243/)
‘O, nikmatnya berbuat tidak senonoh, indah terlihat gelap
remangremang.’ Data (175) adanya pengulangan bunyi /ng/ pada suku kata akhir
kata bureng ‘gelap’ dan kata remeng-remeng ‘remang-remang’.
Bunyi /ng/ merupakan bunyi sengau adanya penggemaan.
10. Tautologi
Tautologi (tautologia;
to auto: hal yang sama) adalah gaya bahasa berupa pengulangan kata (-kata)
dengan menggunakan sinonimnya. Seperti pada data berikut.
(176) Ing langit rembulan bunder wutuh tanggal limalas, katon
moblongmoblong nyunarake cahyane perak. (S/GS/107/)
‘Di langit rembulan bundar utuh tanggal lima belas, terlihat jelas menyinarkan
cahaya perak.
(177) Dhasare kowe ki bodho tur utegmu ora bisa dinggo mikir,
apa maneh
wis tuwa sisan.
(S/GS/114/)
‘Dasar kamu itu bodoh otakmu tidak bisa dipakai berpikir, apalagi sudah
tua sekalian.’
Pada data (176)
dan (177) di atas menunjukkan adanya gaya bahasa taulogi. Data (176) kata rembulan
‘bulan’ sudah mengacu bunder ‘bundar’ dan data (177) pada tuturan Dhasare
kowe ki bodho tur utegmu ora bisa dinggo mikir ‘dasarnya kamu itu bodoh
juga otakmu tidak bisa dipakai berpikir’. Tuturan utegmu ora iso dinggo
mikir ‘otakmu tidak bisa dipakai berpikir’ adalah pengulangan dari kata bodho
‘bodoh’.
11. Klimaks
Klimaks (klimax:
tangga) adalah pemaparan pikiran atau hal berturut-turut dari yang
sederhana dan kurang penting meningkat kepada hal atau gagasan yang penting
atau kompleks. Di bawah ini adalah beberapa gaya bahasa klimaks yang ada dalam
novel Sirah:
(178) Saben esuk, awan, utawa sore kalurahan
bakal ana antri pembagian
dhuwit.
(S/K/12/)
‘Tiap pagi, siang, atau sore
kelurahan akan ada antrian pembagian uang.’
Data (219) di
atas menggunakan gaya bahasa klimaks ditunjukkan dengan
menggunakan urutan kata dari esuk ‘pagi’, awan ‘siang’,
dan sore.
(179) “Tim Panitia Pemilihan Lurah Tingkat Kabupaten lan Staf
Kecamatan
bakal teka saperlu ngrembug jungklak.” (S/DJD/ 40/)
‘Tim panitia Pemilihan Lurah Tingkat kabupaten dan Staf Kecamatan akan
datang untuk membicarakan jungklak.’
Data (179)
menunjukkan gaya bahasa klimaks yaitu adanya urutan tim panitia pemilihan lurah
dari tingkat kabupaten sampai staf kecamatan.
(180) Yen ana patemonan, lungguhe sejajar karo Pak Camat,
Pak Bupati, Pak Gubernur, malah uga pamarentah pusat.
(S/DJD/41/)
‘Kalau ada pertemuan, duduknya sejajar dengan Pak Camat, Pak Bupati,
Pak Gubernur, hingga sampai pemerintah pusat.’
Data (180)
penggunaan kata Pak Camat, Pak Bupati, dan Pak Gubernur di
atas menunjukan adanya gaya bahasa klimaks, yaitu adanya urutan
yang bersifat
meningkat dari Pak Camat, Pak Bupati, dan Pak Gubernur. Urutan
tingkatan dari
yang berpangkat rendah sampai yang berpangkat lebih tinggi.
(181) “Lulusan SMP wonten, SMU kathah, semanten
ugi sarjana.” (S/SJD/61/)
‘Lulusan SMP ada, SMU banyak, begitu juga sarjana.’
Data (181) adanya
urutan–urutan tingkatan sekolah yang semakin meningkat yaitu mulai dari SMP,
SMU, dan sarjana yang menunjukkan gaya bahasa klimaks.
(182) Wiwit purwa, madya tekan wasana dibeber
tanpa ana sing cicir utawa ditambah lan diungkret. (S/SJD/67/)
‘Dari permulaan, pertengahan
sampai yang terakhir diungkapkan tanpa ada yang tercecer atau ditambah dan
dikurangi.’
Data (182)
penggunaan kata purwa, madya, tekan wasana. Kata-kata tersebut
mempunyai arti yang semakin meningkat, diawali dari kata purwa yang berarti
awal atau permulaan, kemudian diikuti dengan kata madya yang berarti tengah
atau pertengahan, dan yang terakhir adalah wasana yang berarti akhir
atau penutup. Kata-kata tersebut, purwa, madya, dan wasana menunujukkan
suatu kata-kata yang memiliki urutan dari yang dianggap paling awal sampai
akhir.
12. Antiklimaks
Kebalikan dari
gaya klimaks adalah gaya antiklimaks. Antiklimaks sebagai sebagai gaya bahasa
merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasannyan diurutkan dari yang terpenting
berturut-turut ke gagasan yang kurang penting (Gorys Keraf, 2006: 125).
Antiklimaks biasanya menyebutkan orang, benda, sifat, atau hal yang semakin
lama semakin menurun. Seperti pada data berikut
(183) Jaman saiki ya Pur, lulusan sarjana, apa maneh SMU,
ngrembah. Dadi nek mung SMP, tak kira ora ana sing aneh.” (S/DJD/36/)
‘Jaman sekarang ya Pur, lulusan sarjana, apa lagi SMU, banyak. Jadi
kalau hanya SMP, saya kira tidak yang aneh.’
Data (183) adanya urutan–urutan tingkatan
sekolah yang semakin menurun yaitu sarjana, SMU, dan SMP yang menunjukkan gaya
bahasa klimaks. (184) Wong tuwa, enom, tekane bocah
cilik kerig lampit ngebaki plataran jembar ngarep kelurahan. (S/WP/171/)
‘Orang tua, muda, sampai anak kecil berdesakan memenuhi halaman luas
depan kelurahan.’
Data (184)
penggunaan kata-kata wong tua ‘orang tua’, enom ‘anak muda’, dan bocah
cilik ‘anak kecil’ menunjukkan adanya pemanfaatan gaya bahasa antiklimaks,
yaitu adanya urutan yang bersifat menurun dari wong tua ‘orang tua’, enom
‘anak muda’, dan bocah cilik ‘anak kecil’.
(185) Malah program desa
nedya diunggahake dadi program kabupaten, malah nedya dibeber
tekan ngisor kayadene kecamatan lan kelurahan. (S/WP/191/)
‘Program desa mungkin bisa dinaikkan menjadi program kabupaten, bahkan
bisa disebarkan sampai ke bawah seperti kecamatan dan kelurahan.’
Pada data (185)
instansi pemerintah dari kabupaten, kecamatan, dan kelurahan menunjukan
adanya pemanfaatan gaya bahasa antiklimaks, yaitu adanya urutan yang
bersifat menurun dari kabupaten, kecamatan, dan kelurahan.
13. Hipalase
Hipalase adalah
semacam gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan
sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain.
(186) Rai sing maune butheg kaya kebelet menyang WC dadi
padhang sumringah. (S/WP/186/)
‘Muka yang tadinya kotor menjadi ceria.’
Data (186) kata
butheg ’kotor’ biasanya berhubungan dengan air yang kotor, tetapi di
sini dimanfaakan menggambarkan tokoh Wijayani yang sulit menghadapi ujian
wawancara pada calon pemilihan lurah. Pada data (186) terdapat penulisan kata
yang tidak baku ’butheg’ sedangkan dalam bahasa Jawa
penulisan yang baku adalah ’buthek’.
(187) Yen pancen
wawancara iki aku lulus, panjenengan takservis kaya dhek neng “hotel”
wingi kae. (S/WP/187/)
‘Kalau wawancara bisa lulus, kamu saya servis seperti di hotel kemarin.’
Data (187) pada
takservis ‘saya servis’, kata servis pada umumnya digunakan untuk
menservis atau memperbaiki mesin-mesin. Tetapi pada tuturan di atas digunakan
untuk menservis Pak Carik dengan maksud melayani Pak Carik layaknya hubungan
suami istri.
14. Paradoks
Paradoks (paradoxos:
para, bertentangan dengan, doxa: pendapat atau pikiran) adalah cara
pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun
sebenarnya keduanya benar, seperti pada data berikut.
(188) Rekasa dilakoni, kepenak dirasake
bareng. (S/K/27/)
‘Susah dijalani, bahagia ditanggung bersama.’
Data (188) di
atas terdapat kata yang bertentangan yaitu kata rekasa ‘susah’ dengan kepenak
‘mudah’ pertentangan tersebut mengandung kebenarannya karena susah
senang harus ditanggung bersama.
15. Antitesis
Antitesis
adalah sebuah gaya yang mengandung gagasan-gagasan yang
bertentangan dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata
berlawanan
(Gorys Keraf, 2006: 126). Antitesis termasuk dalam kelompok majas pertentangan
karena melukiskan sesuatu dengan mempergunakan paduan kata berlawanan arti,
seperti data di bawah ini:
(189) Ana kalodhangan
sithik wae yen sekirane ngasilake ya disamber, ora perduli halal apa haram.
(S/DJD/44/)
‘Ada kesempatan sedikit saja kalau sekiranya menghasilkan ya disambar,
tidak peduli halal atau haram.’
(190) Ana sing ngalembana, nanging ora setithik sing sinis.
(S/DJD/45/)
‘Ada yang menyanjung, tetapi tidak sedikit yang sinis.’
(191) Cilik dithuthuk ongkos, gedhene dirampok.
(S/GS/90/)
‘Kecil dipukul ongkos, lebih parah lagi di rampok.’
(192) Semono uga ngadhepi ujian saringan saka panitia pemilihan
lurah, embuh lisan apa tertulis, bakal tok lalap kanthi cepet. (S/GS/115/)
‘Begitu juga menghadapi ujian penyaringan dari panitia pemilihan lurah,
entah lisan apa tertulis, akan kamu atasi dengan cepat.’
(193) Tamune kami tenggengen nyawang sing duwe omah, gek kala menjinge
munggah mudhun. (S/P/123/)
‘Tamunya terheran melihat yang punya rumah, sampai kala menjingnya
naik turun.’
(194) Nanging kabeh mau wis cukup kanggo ngendhokake otot
dalah pikiran sing kenceng. (S/U/145/)
‘Namun semua itu sudah cukup untuk mengendorkan otot serta pikiran yang
kencang.’
(195) Sengaja sing dienggo conto Joyo Dengkek kang dianggep asor
ning jebul malah onjo. (S/ND/170/)
‘Sengaja yang dibuat teladan Joyo Dengkek yang dianggap rendah ternyata
lebih berguna.’
(196) “Supaya boten diprotes sing kalah utawa disogok
sing menang.” (S/WP/195/)
‘Supaya tidak diprotes yang kalah atau disuap yang menang.’
(197) Nesu ora, bungah ya ora. (S/P/225/)
‘Marah tidak, senang juga tidak.’
Data (189)
sampai data (197) di atas memakai bentuk gaya bahasa antitesis. Pada data (189)
kata yang dipertentangkan, yaitu antara halal dan haram. Data
(190) pada kata ngalembana ’menyanjung’ dan sinis ’benci’. Data (191)
cilik ’kecil’ dan gedhe ’besar’. Data (192) lisan dan tertulis.
Data (193) munggah ’naik’ dan mudhun ’turun’. Data (194) ngendhokake
’mengendorkan’ dan kenceng ’kencang’. Data (195) asor ’atas’
dan onjo ’rendah’. Data (196) kalah dan menang. Data (197)
kata yang dipertentangkan nesu ’marah’ dan bungah ’senang’.
16. Sarkasme
Sarkasme
merupakan acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Gaya ini selalu
menyakitkan dan kurang enak didengar (Gorys Keraf, 2006: 143). Sarkasme adalah
sindiran langsung dan kasar, seperti pada data beriikut.
(198) Hebat gundhulmu. Nek ora nganggo
cumplunge Pak Pranawa… (S/U/159/)
‘Hebat kepalamu. Kalau tidak pakai cumplungnya Pak Pranawa…’
Data (198) penggunaan
kata gundhulmu ‘kepalamu’ merupakan gaya bahasa sarkasme. Kata gundhulmu
‘kepalamu’ di sini merujuk pada penyebutan kepada seseorang yang
hubungannya sudah sedemikian akrab. Apabila tidak begitu akrab tentu saja akan
sangat menyinggung dan menyakitkan bagi orang yang disebutnya.
(199) “Kene ki nggo ndhaptar lurah manungsa. Nek kowe neng
Gembiraloka kana dadi lurah kewan,” Paryo nrambul. (S/U/168/)
“Di sini untuk daftar lurah. Kalau kamu di Gembiraloka sana menjadi
lurah hewan,” Paryo menerjang.’
Data (199)
tuturan kene ki nggo ndhaptar lurah manungsa. Nek kowe neng Gembiraloka kana
dadi lurah kewan ‘di sini untuk daftar lurah. Kalau kamu di Gembiraloka
sana jadi lurah hewan’ merupakan hinaan, ejekan langsung dan kasar dari
Si penutur (Paryo) terhadap Joyo Dengkek.
(200) “Kang Joyo, Kang Joyo, mbok mawas ta kek, Dengkek. Buta
huruf wae kok le kurang gaweyan. Galo WC omahku mampet. Tulung didandani, mengko
takangkat dadi lurah WC.” (S/U/168/)
“Kang Joyo Dengkek, kamu itu harus tahu diri dengkek, buta huruf saja
merasa kurang kerjaan. Di rumahku sana WCnya mampet. Tolong diperbaiki, nanti
saya angkat menjadi lurah WC.”
Data (200) pada
tuturan galo WC omahku mampet. Tulung didandani, mengko takangkat dadi lurah
WC ‘Di rumahku sana WCnya mampet. Tolong diperbaiki, nanti saya
angkat menjadi lurah WC’ merupakan gaya bahasa sarkasme sindiran
langsung dan ejekan kasar terhadap Joyo Dengkek.
ü
Hermeneutik
Kajian Hermeneutik Puisi “Kucari
Jawab” Karya J. E. Tatengkeng
a.
Pengertian
Hermeneutik
Secara historis
hermenika berasal dari mitologi Yunani, yang berasal dari seorang tokoh
mitologis yang bernama Hermes yakni seorang utusan yang mempunyai tugas sebagai
perantara atau penghubung antara dewa jupiter dengan manusia. Pada intinya ia
menyampaikan pesan dari dewa Jupiter kepada manusia. Hermes dilukiskan sebagai
seorang yang mempunyai kaki bersayap dan lebih banyak dikenal dengan sebutan
Merkurius dalam bahasa latin. Tugas Hermes adalah menginterpretasikan
pesan-pesan dari dewa Jupiter di gunung olympus ke dalam bahasa yang dapat
dimengerti oleh umat manusia. Oleh sebab itulah fungsi Hermes disini sangat
penting dan vital sekali karena kalau terjadi kesalahan pemehaman tentang
pesan-pesan dewa tersebut akibatnya akan fatal bagi manusia. Hermes harus mampu
menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan
oleh penuturnya. Kalau diasosiasikan secara sekilas hermeneutik dengan hermes,
menunjukan akhirnya pada tiga unsur yang akhirnya menjadi variabel utama pada
kegiatan manusia dalam memahami dan membuat interpretasi terhadap berbagai hal
yakni:
1.
Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau
bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan pesan yang dibawa Hermes
dari dewa Jupiter di gunung Olimpus tadi.
- Perantara atau penafsir (Hermes).
- Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Hermeneutik
menegaskan bahwa manusia Autentik selalu dilihat dalam kontek ruang (Lokus) dan
waktu (Tempos) dimana manusia sendiri mengalami dan menghayatinya. untuk
memahami dasein (Manusia oautentik), kita tidak bisa lepas dari konteks yang
ada, sebab itu kalau dilihat dari luar konteksnya yang nampak ialah manusia
semu yang artifesial atau hanya buatan saja. Manusia autentik hanya bisa dimengerti
atau dipahami dalam ruang dan waktu yang persis dimana ia berada. dengan kata
lain setiap individu selalu tersituasikan dan benar-benar dapat dipahami di
dalam situasinya.
Hermenetik
menurut pandangan kritik sastra ialah Sebuah metode untuk memahami teks yang
diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermenetik cocok
untuk membaca karya sastra karena dalam kajian sastra, apa pun bentuknya,
berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan
apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut
dengan karya sastra yang harus diinterpretasi dan dimaknai. Semua kegiatan
kajian sastra, terutama dalam prosesnya, pasti melibatkan peranan konsep
hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal dan prinsip yang tidak
mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu diperbincangkan secara
komprehensif guna memperoleh pemahaman yang memadai.
Dalam hubungan
ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan
pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang
mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu,
interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya
yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai
taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan
ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode
pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat
yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para
ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat
dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Karya sastra
dalam pandangan hermeneutik ialah sebagai objek yang perlu di interprestasikan
oleh subjek (hermeneutik). Subjek dan objek tersebut adalah term-term yang
korelatif atau saling bertransformasi satu sama lain yang sifatnya merupakan
hubungan timbal balik. Tanpa adanya subjek, tidak akan objek. Sebuah benda
menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatiaan pada subjek itu.
Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan pandangan
subjek. Hussrel menyatakan bahwa objek dan makna tidak akan pernah terjadi
secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral.
Meskipun arti dan makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya
atas dasr situasi objek, semuanya adalah sama saja. Maka dari sinilah karya
sastra dipandang sebagai lahan (objek) untuk ditelaah oleh hermeneutic supaya
muncul interpretasi pemahaman dalam teks karya satra tersebut.
Bahasa dalam
pandangan Hermeneutic sebagai medium yang tanpa batas, yang membawa segala
sesuatu yang ada didalamnya, termasuk karya sastra yang menjadi objek
kajiaannya. Hermenetik harus bisa bergaul dan berkomunikasi dengan baik dengan
bahasa supaya tercipta transformasi di dalamnya terutama dalam membedah teks
karya sastra.
Puisi yang akan dikaji dengan menggunakan
pendekatan hermeneutik adalah :
Kucari Jawab
Di mata air, di dasar kolam,
kucari jawab teka-teki alam.
Di kawan awan kian kemari,
di situ juga jawab kucari.
Kepada gunung penjara waktu,
kucari jawab kebenaran tentu.
Ke dalam hati, jiwa sendiri,
Kuselam jawab, tidak tercari. . .
Ya, Allah yang maha dalam,
Berikanlah jawab teka-teki alam.
O, Tuhan yang maha tinggi,
Kunanti jawab petang dan pagi.
Hatiku haus’kan kebenaran,
Berikan jawab di hatiku sekarang. . .
b.
Analisis Hermeneutik
Setiap karya
sastra, terutama puisi pasti memiliki makna yang terkandung di balik
simbol-simbol (kata-kata) yang digunakan pada puisi tersebut. Dan dari setiap
simbol-simbol yang terdapat pada setiap puisi pasti memiliki kejadian atau
hal-hal yang melatarbelakangi sehingga karya sastra tersebut dapat tercipta.
Hal-hal atau kejadian tersebut biasanya berasal dari luar sastra, seperti
sejarah, kenyataan dan sebagainya. Begitu pun yang terjadi pada puisi yang
berjudul “Kucari Jawab” karya J.E. Tatengkeng ini.
Pendekatan
hermeneutik menghendaki penafsiran, sehingga makna puisi sudah pasti
dipengaruhi persepsi pengetahuan dan pengalaman setiap pembaca, faktor
lingkungan pembaca, perspektif atau bia dimensi kepentingan pembaca, dan
hal-hal lain yang berasal dari faktor ekstrinsik puisi.
Pencarian arti
secara heuristik tersebut baru menjelaskan arti kebahasan puisi objek kajian.
Makna puisinya harus dicari dengan pembacaan hermeneutik, pembacaan yang diberi
tafsiran sesuai dengan tata aturan sastra sebagai sistem semiotik.
Sejak awal
membaca puisi “Kucari Jawab” karya J.E. Tatengkeng ini pasti para pembaca
langsung menyadari bahwa makna yang terkandung dalam puisi tersebut adalah
tentang kisah perjalanan hidup J.E. Tatengekeng dalam upaya mencari jawaban dan
kebenaran dalam hidup. Hal ini dapat terlihat dengan cukup jelas karena J.E.
Tatengkeng menyampaikannya secara lugas.
Untuk lebih jelasnya, saya akan menganalisis
puisi J.E. Tatengkeng ini bait demi bait.
Di mata air, di dasar kolam,
kucari jawab teka-teki alam.
(bait 1)
Pada bait
pertama tersebut, Oom Jan mencoba untuk mencari jawab atas teka-teki yang
diberikan oleh alam. Oom Jan berpendapat bahwaterdapat kesalahan dalam hidup
ini, dan Oom Jan mencoba mencari jawaban untuk sebuah kebenaran dari hidup ini.
Alam merupakan simbol dari kehidupan, karena kita hidup di dunia ini tak
terlepas dari yang namanya alam. Karena alam memberikan kehidupan itu lah, maka
Oom Jan mencoba mencari jawaban dari alam. Berharap alam akan memberikannya
jawaban seperti alam memberinya kehidupan. Kemudian di alam, Oom Jan mencoba
mencari jawabannya di mata air dan di dasar kolam. Itu karena mata air
perlambang sebuah sumber. Ia berharap akan mendapat jawabannya dari sumber
tersebut. Sedangkan dasar kolam merupakan hal yang penuh misteri, itu
dikarenakan sebuah dasar biasanya menyimpan suatu yang sangat berharga. Seperti
contohnya di dasar laut menyimpan harta karun. Oom Jan berharap kalau ia
mencari jawabannya sampai ke dasar, pasti akan menemukan sesuatu.
Di kawan awan kian kemari,
di situ juga jawab kucari.
(bait 2)
Setelah Oom Jan
mencari sebuah jawaban akan kebenaran hingga ke dasar, Oom Jan juga mencoba
mencari jawaban tersebut di angkasa. Ia coba mencarinya di antara awan beserta
kawananya (kumpulan awan). Berharap akan menemukan jawabannya di sana. Awan
merupakan lambang dari sesuatu yang tinggi, yang sulit digapai. Itu mengapa Oom
Jan berusaha mencarinya di tempat yang sulit dicapai orang. Berharap jawabannya
berada di sana. Karena biasanya sesuatu yang sulit dicari itu pastilah terdapat
di tempat yang sulit dijangkau oleh orang banyak.
Kepada gunung penjara waktu,
kucari jawab kebenaran tentu.
(bait 3)
Setelah mencari
di tempat yang paling rendah hingga yang paling tinggi dari alam, Oom Jan masih
mencari jawaban atas kebenaran tersebut di tempat yang lain, yakni di gunung.
Gunung merupakan simbol dari sebuah misteri. Karena setiap gunung pasti
memiliki misterinya masing-masing. Contohnya saja tentang keluarnya lahar panas
dari dalam perut gunung yang selama ini dikira sudah tidak aktif lagi. tentu
saja itu merupakan sebuah misteri yang besar. Belum lagi misteri-misteri
lainnya yang terdapat pada gunung. Selain itu gunung juga ibarat sebagai
penjara waktu. Hal ini karena pada saat di gunung, manusia bahkan tidak
mengetahui sudah berapa lama yang dihabiskannya di sana. Seolah-olah waktu tak
terasa berlalu. Seperti orang yang bersemedi di gunung. Walaupun sudah
bersemedi selama bertahun-tahun, namun karena pergi ke gunung diibaratkan
sebagai bersatu dengan alam, maka berapa banyak waktu yang dihabiskan pun tidak
terasa. Maka dari itu Oom Jan mencoba mencarinya ke gunung. Berharap di tempat
yang memiliki banyak misteri, terdapat jawaban akan sebuah kebenaran.
Ke dalam hati, jiwa sendiri,
Kuselam jawab, tidak tercari. . .
(bait 4)
Setelah menyusuri
tempat yang paling dasar, tempat yang paling tinggi, hingga tempat yang penuh
dengan misteri, Oom Jan masih belum dapat menemukan jawaban yang dicarinya.
Kemudian Oom Jan mencoba mencarinya ke dalam hati dan jiwanya sendiri. Hati dan
jiwa perlambang dari hidup manusia itu sendiri. Karena biasanya hal yang tak
dapat ditemukan di manapun, justru sebenarnya terletak pada diri manusia itu
sendiri, namun terkadang manusia tidak menyadarinya. Akhirnya Oom Jan pun
merenung, mencoba menyelami (memahami) dirinya sendiri. Dalam diri sendiri lah
biasanya harta atau sesuatu yang selalu dicari-cari oleh kita terpendam. Karena
sebenarnya hati dan jiwa kita telah diberikan kekayaan yang berlimpah oleh Sang
Pencipta. Namun sayang, dalam hati dan jiwanya sendiri pun Oom Jan masih belum
menemukan jawabannya.
Ya, Allah yang maha dalam,
Berikanlah jawab teka-teki alam.
(bait 5)
Setelah Oom Jan
berusaha mencari jawaban ke berbagai pelosok tempat dan tak mendapatkan hasil
apa pun. Maka Oom Jan tersadar bahwa tak ada yang tempat yang lebih baik untuk
mencari sebuah kebenaran, selain kembali meminta kepada Sang Pencipta. Karena
Allah adalah zat yang maha mengetahui segalanya. Allah yang maha dalam
melambangkan bahwa Allah adalah zat yang sebenar-benarnya mengetahui kedalaman
apa pun. Kedalaman akan hati manusia, kedalaman akan jawaban, dan kedalaman
akan kebenaran.
O, Tuhan yang maha tinggi,
Kunanti jawab petang dan pagi.
(bait 6)
Selain itu
Allah juga merupakan zat yang maha tinggi. Allah dapat mengetahui dan menguasai
segala hal yang terjadi di dunia ini. Tinggi memiliki lambang yang sangat
banyak. Tinggi bisa perlambang akan kekuasaan, perlambang pemilik, perlambang
pencipta, perlambang yang paling agung. Maka dari itu Oom Jan selalu menanti
jawaban dari Allah yang maha tinggi, yang maha menguasai. Oom Jan selalu
menunggu setiap hari, baik itu saat petang maupun pagi.
Hatiku haus’kan kebenaran,
Berikan jawab di hatiku sekarang. . .
(bait 7)
Pada bait
ketujuh ini, Oom Jan semakin ingin mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Haus
merupakan perlambang dari sesuatu yang sudah tidak tahan lagi. Harus segera
diberikan sesuatu pada rasa haus tersebut agar tidak risau dan gundah gulana
lagi. dalam hal ini Oom Jan meminta sebuah kebenaran agar hatinya tidak risau
dan gundah gulana lagi. Oom Jan sudah tidak sabar untuk meminta Allah
memberikan jawabannya sejarang juga agar hatinya tentram.
ü
Feminimisme
NOVEL TARIAN BUMI KARYA
OKA RUSMINI: KAJIAN
FEMINISME
a. Pengertian Feminisme
Dewasa
ini banyak bermunculan sastrawan dan sastrawati muda. Fenomena inilah yang
menghidupkan kembali dunia sastra di Indonesia. Lahirnya karya sastra dari buah
pemikiran mereka membawa atmosfer baru dan semangat dalam berkarya tanpa batas.
Bahkan jumlah sastrawati yang ada saat ini, lebih banyak bila dibandingkan
dengan jumlah sastrawan. Karya mereka mampu 14 mendobrak berbagai tabu dalam
budaya patriarki, yang membelenggu kaum perempuan.
Pola
pikir patriarki adalah pola pikir yang menganggap perempuan dan pria sebagai
manusia yang memiliki perbedaan. Perbedaan menimbulkan stereotype tentang
pria dan perempuan. Seorang pria diharuskan mempunyai sifat pemberani,
mempunyai tubuh kuat, tidak mudah menangis sedangkan perempuan pastilah seorang
keibuan, lembut, sensitif. Namun hal itu sebenarnya tidak mutlak melekat pada
perempuan dan pria, seiring berkembangnya zaman tentunya pola pemikiran pun
berkembang, begitupula dengan perempuan Indonesia mulai berani mendobrak
belenggu yang selama ini menjeratnya.
Feminisme
menurut Bhasin dan Khan (1995: 5) adalah sebuah kesadaran tentang ketidakadilan
yang sistematis bagi perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, serta tindakan
sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.
Feminisme mengandung 3 konsep penting, yaitu:
a. Feminisme adalah sebuah keyakinan bahwa tidak ada
perbadaan seks, yaitu menentang adanya posisi hierarkis yang menyebabkan posisi
superior dan inferior diantara jenis kelamin
b. Feminisme adalah sebuah pengakuan bahwa dalam
masyarakat telah terjadi konstruksi sosial budaya yang merugikan perempuan
c. Feminisme menggugat perbedaan yang mencampuradukan
seks dan gender sehingga perempuan dijadikan sebagai kelompok tersendiri
dalam masyarakat.
Pada
dasarnya tujuan dari feminisme adalah untuk menyamakan kedudukan perempuan
dengan laki-laki. Feminisme memperjuangkan kemanusiaan kaum perempuan,
memperjuangkan perempuan sebagai manusia merdeka seutuhnya (women demanding
theirfull rights as human beings). Secara prinsip, ia berakar pada posisi
perempuan dalam dunia (filsafat, politik, ekonomi, budaya, sosial) patriarki
dan berorientasi pada perubahan pola hubungan kekuasaan (Arimbi H. dan R.
Valentina, 2004: 7)
Dari
berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa feminisme adalah perjuangan
perempuan dalam mewujudkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.
Feminisme merupakan paham yang memperjuangkan kaum perempuan sebagai manusia
merdeka seutuhnya. Sehingga menyadarkan para perempuan tentang eksistensi
pribadinya. Feminisme adalah suatu gerakan perempuan yang menuntut persamaan
hak antara kaum laki-laki dan perempuan dalam dunia filsafat. Politik, ekonomi,
sosial, dan budaya.
b. Prinsip, Nilai dan Perspektif Feminisme
Prinsip
feminisme itu ideologi bukan wacana. Sering digambarkan dengan
mata, hati dan tindakan yaitu melihat, menyadari,
mengalami adanya penindasan, diskriminasi yang terjadi pada perempuan,
mempertanyakan, menggugat, dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut.
Feminisme dengan demikian berpihak pada perempuan, pada mereka yang ditindas,
didiskriminasi, dieksploitasi, dan diabaikan.
Berangkat
dari prinsip feminisme, dapat digali nilai- nilai dalam feminisme. Beberapa
nilai-nilai dalam feminisme, yaitu pengetahuan dan pengalaman personal, artinya
seorang feminis menghargai pengetahuan dan pengalaman personal, misalnya antara
perempuan berkulit putih dan hitam tentu saja akan berbeda. Kemudian rumusan
tentang diri sendiri, yaitu perempuan berhak merumuskan tentang dirinya. Tidak
seperti kapitalisme bahwa perempuan harus sempurna dan masyarakat patriarki
merumuskan perempuan dari segi seks saja.
Selanjutnya
adalah kekuasaan personal, bahwa perempuan memiliki kekuasaan atas dirinya dan
segala yang ia punya baik baik pikiran, perasaan dan tubuhnya. Berikutnya
adalah otentitas, bahwa feminisme menghormati keaslian. Segala hal yang
perempuan lakukan setiap hari dihormati keasliannya oleh feminisme. Sedangkan
Kreativitas berarti bahwa feminisme adalah proses mengusung nilai-nilai
perjuangan baru yang luas dan terbuka. Kemudian sintetis,
feminisme melihat, menggabungkan pengertian,
pengalaman, perasaan, pikiran,
pengalaman ketubuhan perempuan sehingga menjadi
kesatuan yang selaras.
Selanjutnya
adalah Personal is political, apabila kita memahami antara sosialitas dan
subyektifitas politik situasi perempuan maka kita akan juga memahami kehidupan
pribadi perempuan. Kemudian kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan
mempunyai hak dan substansi kemanusiaan yang setara. Kesetaraan juga akan
menjadi bagian dari rasionalisasi kemajuan masyarakat manusia laki-laki dan
perempuan. Selanjutnya hubungan sosial timbal balik antara laki-laki dan perempuan
apakah telah setara. Kemandirian ekonomi sebagai penyusunan konsep baru yang
mengedepankan pembagian kerja secara adil dan setara antar pelaku ekonomi.
Selanjutnya adalah kebebasan seksual, bahwa perempuan merupakan subyek sosial
dan bukan obyek seksual. Selain itu ada pula kebebasan reproduksi, pandangan
feminisme mengenai hal tersebut adalah gagasan penentuan atas tubuh sendiri dan
gagasan bahwa kesadaran reproduksi merupakan hal tang terus berlangsung dan integratife.
Kemudian Identifikasi diri pada perempuan, artinya perempuan mempunyai
keyakinan individualitas, potensi dan persepsi mengenai dirinya sebagai anggota
komunitas perempuan. Disusul perubahan sosial, upaya transformatif. Feminisme
memperjuangkan perubahan sosial kearah keadilan dan kesetaraan agar tercipta
masyarakat yang adil dan setara. Dan yang terakhir adalah berkekuatan politik
dalam masyarakat, artinya politik feminisme sebagai politik yang didasarkan pada
etika kepedulian yang menyadari pentingnya nilai-nilai dalam masyarakat.
c. Aliran-aliran dalam Feminisme
Gender
merupakan
fenomena sosial yang memiliki kategori analisis yang berbeda-beda. Pada
dasarnya komitmen dasar kaum feminis adalah terwujudnya kesetaraan dan menolak
ketidakadilan terhadap perempuan. Sehingga muncul perbedaan pandangan
antarfeminis terhadap persoalan gender yang akan dibangun. Dari
perbedaan pandangan tersebut melahirkan aliran-aliran feminisme.
Aliran
feminisme merupakan gambaran dinamika wacana feminisme. Berikut ini sketsa
tentang ide dasar aliran feminisme yang telah mempengaruhi perkembangan
feminisme sebagai pemikiran akademis maupun gerakan sosial menurut Kadarusman
(2005: 27), yaitu Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, dan
Feminisme Sosialis.
Feminisme
Liberal berarti, bahwa akar penindasan perempuan terletak pada tidak adanya hak
yang sama, untuk memajukan dirinya dan peluang pembudayaan yang sama. Perempuan
mendapat diskriminasi hak, kesempatan, kebebasannya karena ia perempuan. Untuk
melawannya ia mengajukan kesetaraan antara pria dan perempuan. Para feminis
liberal menolak otoritas patriarkal yang dijustifikasi dogma agama, menolak
perlakuan khusus yang diberikan pada perempuan. Tetapi masih mengakui perbedaan
fungsi reproduksi, bagaimanapun fungsi reproduksi bagi perempuan akan
mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
Feminisme
Radikal perintisnya adalah Charlotte Perkins Gilman, Emma Goldman dan Margarret
Sanger. Mereka mengatakan bahwa perempuan harus melakukan kontrol radikal
terhadap tubuh dan kehidupan mereka. Feminisme radikal kontemporer berkembang
pesat pada tahun 1960-1970 an di New York AS. Aliran ini melihat penindasan
perempuan bukan sebagai produk kapitalisme melainkan bersumber dari semua sistem
penindasan. Aliran ini radikal karena memfokuskan pada akar dominasi pria dan
klaim bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dari supremasi pria.
Feminisme
Marxis dapat dikatakan sebagai kritik terhadap feminisme liberal. Karya
Frederick Engels, The Origins of The Family, Private Property and The
State, yang ditulis pada tahun 1884 merupakan awal mula pemikiran Marxis tentang
penyebab penindasan perempuan. Penindasan terhadap perempuan akibat tindakan
individual yang disengaja melainkan hasil dari struktur poltik, sosial, dan ekonomi
yang dibangun dalam sistem kapitalisme. Argumentasi kaum Marxis didasarkan
kepada persoalan ketidakadilan dalam pembagian kerja dan status kepemilikan.
Feminisme
Sosialis memahami penindasan terhadap perempuan melalui sudut pandang teori
epistimologi yang mendalilkan bahwa semua pengetahuan mempresentasikan
kepentingan dan nilai-nilai kelompok sosial tertentu.
Komitmen
dasar feminisme sosialis adalah mengatasi penindasan kelas. Menurut aliran
sosialis, konsep ”the personal is political” dalam aliran feminisme
radikal dapat memperluas konsep Marxis tentang dasar-dasar material suatu
masyarakat, untuk memasukkan reproduksi sama dengan produksi.
Pendapat
Kadarusman sejalan dengan pendapat Arimbi H. dan R. Valentina (2004: 30-50), juga
menyatakan terdapat 4 aliran dalam feminisme, dan
menegaskan bahwa prinsip, nilai dan prespektif
feminisme adalah pijakan bagi semuanya. Perbedaannya terdapat pada sumber
masalah, penekanan, dan alternatif
solusi perlawanan. Asmaeny Azis (2007: 93) menambahkan
satu lagi macam aliran feminisme, yaitu aliran feminisme postmodernis. Feminis
postmodernis adalah mereka yang kecewa atas bangunan modernisme, karena
perempuan tidak
mendapat kedudukan yang sama dalam rangka publik dan
konstruksi sosial.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa aliran feminisme ada lima. Aliran
tersebut adalah aliran feminisme Radikal, feminisme Liberal, feminisme Marxis,
Sosialis, dan feminisme Postmodernis. Aliran feminisme merupakan gambaran
dinamika wacana feminisme.
d. Kritik Sastra Feminis
Kritik
sastra feminis berasal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis
wanita di masa silam untuk mewujudkan citra wanita dalam karya penulis pria
yang menampilkan wanita sebagai makhluk dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan,
serta disepelekan oleh tradisi patriarkat yang dominan.
Sugihastuti
dan Suharto (2002: 7) mengemukakan kritik sastra feminis adalah pengkritik
memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa
ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan
budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang menjadi perbedaan
diantara semuanya
yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang,
pembaca, perwatakan, dan
pada situasi luar yang mempengaruhi situasi karang
mengarang.
Ada
beberapa kritik sastra, yaitu Kritik Ideologis, Kritik Ginokritik, Kritik
Sastra Feminis Sosial, Kritik Sastra Psikoanalitik,
Kritik Feminis Lesbian, dan Kritik feminis ras atau Etnik. Kritik ideologis
melibatkan wanita sebagai pembaca. Kritik ini juga meneliti kesalah pahaman
tentang wanita dan sebabsebab mengapa wanita sering diabaikan. Cara ini
memperkaya wawasan pembaca wanita dan membebaskan cara berpikir mereka.
Sedangkan Kritik Ginokritik Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah
karya sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre dan struktur penulis wanita.
Kemudian Kritik Sastra Feminis Sosial meneliti tokoh wanita yaitu kelas
masyarakat.
Pengkritik
feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang
tertindas. Selain itu ada pula Kritik sastra Feminis Psikoanalitik yang
biasanya ditempatkan pada tulisan wanita, karena tokoh wanita biasanya
merupakan cerminan penciptanya. Pada Kritik feminis lesbian tujuannya adalah
mengembangkan suatu definisi yang tepat tentang makna lesbian. Kemudian pengkritik
sastra lesbian akan menentukan apakah definisi ini dapat diterapkan pada diri
penulis atau pada teks karyanya. Kemudian yang terakhir adalah Kritik Feminis
Ras atau Etnik yang berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik dan
karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam sastra tradisionoal dan
sastra feminis.
e. Perjuangan Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan
Feminisme dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini
Perempuan
seringkali dihadapkan pada persoalan yang cukup rumit yang diakibatkan dari
situasi hubungan laki-laki dengan perempuan yang tidak sejajar. Pola relasi ini
mengakibatkan perempuan mendapatkan banyak ketidakadilan seperti yang telah
diulas pada bab sebelumnya. Perempuan menanggapinya dengan berbagai cara dan
sikap. Ada yang menyadari dan menumbuhkan kesadaran kritis yang berlanjut pada
keberanian sikap menentang segala bentuk ketidakadilan tersebut, tetapi banyak
juga yang tidak menyadari. Hal ini diakibatkan dari sosialisasi masyarakat dan
keluarga sehingga perempuan sendiri
menganggapnya sebagai sebuah kodrat.
Dalam
novel Tarian Bumi terdapat tokoh-tokoh perempuan yang berani memperjuangkan
hak-haknya dan melawan sistem budaya masyarakat patriarkis. Telaga adalah
potret pemberontakan perempuan Bali terhadap praktik-praktik budaya yang
menindas dengan caranya sendiri, menjalani hidupnya diantara ambang penerimaan
dan ketidakpatuhan, diantara penyerahan dan kebebasan. (Tarian Bumi, 2007:
181) Melalui novelnya, Oka Rusmini menguraikan tokoh perjuangan perempuan
tersebut dengan melihat sisi lain perempuan, yaitu dari sisi kebebasan
perempuan dalam memilih pasangan hidup. Tokoh Telaga juga digambarkan Oka
sebagai seorang perempuan yang menentang adat yang berlaku di Bali. Telagapun
harus menerima hukum adat yang berlaku. Ia akhirnya dibuang
oleh keluarganya dan tidak dianggap lagi sebagai
perempuan Brahmana karena
menikah dengan laki-laki Sudra.
“ hari ini juga tiang akan menanggalkan nama Ida Ayu.
Tiang akan jadi
perempuan sudra yang utuh... ( Tarian Bumi,
2007: 173 ).
Kisah
perjuangan Telaga dan beberapa wanita Bali lainnya dalam mencapai kebahagiaan
dan menghadapi realitas sosial budaya di sekelilingnya itulah yang diangkat
oleh Oka Rusmini dalam novelnya tersebut. Feminisme adalah perjuangan perempuan
dalam mewujudkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.
Bali
terkenal dengan sistem kasta, yaitu kelompok, kelas sosial, dan jenis
tertentu karena kelahiran. (dalam encyclopedia
Americana, 2008, 1,http//www.iloveblue.com/ bali gaul funky/ artikel bali/
detail/ 1954.htm). Kasta
disini sangat berperan dalam kehidupan misalnya dalam
memilih pasangan hidup. Masyarakat Bali menganggap bahwa perkawinan merupakan
suatu hal yang sangat penting. Dengan mereka melakukan perkawinan, maka mereka
telah dianggap sebagai masyarakat penuh dan memperoleh hak- hak dan kewajiban seorang
warga komuniti dan warga kelompok kerabat. Perkawinan dapat terjadi apabila
mereka berasal dari kasta yang sama. Masyarakat Bali yang berkasta tinggi akan
menjaga anak wanitanya agar jangan sampai menikah dengan pria yang lebih rendah
derajat kastanya karena perkawinan itu akan membawa malu pada keluarganya dan
akan menjatuhkan gengsi dari seluruh kasta dari anak wanita tersebut. Selain
itu juga dianggap akan mendatangkan kesialan bagi orang-orang disekitarnya.
Seperti terdapat dalam kutipan berikut:
“Berkali-kali tiang berkata, menikah dengan
perempuan Ida Ayu pasti mendatangkan kesialan. Sekarang anakku mati!
Wayan tidak pernah mau mengerti. Ini bukan cerita dongeng. Ini kebenaran. Kalau
sudah begini jadinya aku harus bicara aoalagi!” Luh Gumbreg memukul dadanya.
Menatap Telaga tidak senang.(Tarian Bumi, 2007:
152)
Masyarakat
Bali sangat menjunjung tinggi adat budayanya, mereka begitu mengagung- agungkan
nilai kebangsawanan, bagi mereka dengan menjadi seorang bangsawan mereka akan
merasa dihargai dan dihormati.
“...Tuniangmu adalah perempuan paling lugu.
Baginya cinta itu sangat sakral. Dia juga sangat mengagungkan nilai-nilai
bangsawan. Memang, dari luar dia terlihat sangat sopan pada orang-orang diluar griya.
Tetapi tuniangmu sangat tidak bisa menerima bila laki-laki griya menikah
dengan perempuan biasa. Tuniangmu sangat kukuh. Kebangsawanan harus
tetap dipertahankan sesuai dengan tradisi yang diwariskan orang-orang tua kita.
Itu
kata-kata yang selalu ia katakan pada sesama perempuan...(Tarian Bumi, 2007:
19). Sehingga dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa feminisme
sosialis adalah cerita yang Oka Rusmini angkat dalam novel tersebut.
Feminisme sosialis memahami penindasan terhadap perempuan melalui
kelompok atau kelas- kelas sosial tertentu. (Kadarusman, 2005: 27) Salah
satunya dalam memilih pasangan hidup. Perempuan seharusnya berhak
menikah dengan laki-laki yang dicintainya meskipun laki-laki tersebut memilliki
kasta yang berbeda. Akan tetapi di Bali bagi perempuan hal tersebut
dilarang, bila mereka ingin menikah dengan laki-laki berbeda kasta,
perempuan harus siap untuk menghadapi resiko yang akan diterimanya.
Disini tampak terdapat perbedaan hak yang diterima laki-laki dan perempuan
yang sebenarnya itu harus dihapus. Perempuan Bali berhak untuk mendapatkan
persamaan hak atas laki-laki.
Dalam
novel ini terdapat beberapa tokoh perempuan yang dianggap melakukan
pemberontakan terhadap adat, yaitu tokoh ibu dan anak, Luh Sekar dan Ida Ayu
Telaga Pidada, dan tokoh Kenten, teman bermain Sekar sejak kecil yang memilih
menjadi seorang lesbian dan tidak menikah dengan laki- laki. Mereka
memperjuangkan impiannya dalam mencapai kebahagiaan dan kebebasan memilih pasangan
meskipun dengan latar belakang yang berbeda. Luh Sekar adalah seorang perempuan
dari kelas terendah ( sudra ) yang berupaya sangat keras untuk menikah
dengan lelaki dari kasta bangsawan ( brahmana ).
“ Aku capek miskin, Kenten. Kau harus tahu itu. Tolonglah, carikan
aku seorang Ida Bagus. Apapun syarat yang harus kubayar, aku siap! ( Tarian
Bumi, 2007: 17 )
Kutipan
di atas menandakan bahwa Luh Sekar sudah mempunyai jiwa seorang Feminisme
sosialis dengan keinginannya mendapatkan seorang laki-laki bangsawan yang
dianggapnya akan merubah hidupnya menjadi lebih baik. Luh Sekar berusaha keras
untuk mewujudkan impiannya itu. Hingga akhirnya dia berhasil menikah dengan
laki-laki berdarah biru, Ida Bagus Ngurah Pidada. Sayang pernikahan Luh Sekar
tidaklah bahagia. Mertuanya keji dan selalu memandang rendah padanya.
Perempuan
senior itu tak habis-habisnya memaki ibu. Kata-kata kasar dan sumpah serapah
yang tidak jelas maknanya selalu meluncur teratur dari bibir tuanya yang selalu
terlihat merah. Sebagai perempuan junior, ibu hanya bisa menunduk. Ibu tak
pernah melawan nenek. padahal seringkali kata-kata nenek menghancurkan harga
diri ibu sebagai perempuan.(Tarian Bumi, 2007: 13-14)
Selain
itu suaminya yang bangsawan ternyata lelaki pemabuk dan bercinta dengan
sembarang perempuan, termasuk adik tiri Luh Sekar. Luh Sekar membayar mahal
untuk menukar kenyamanan hidupnya dengan memasuki dunia bangsawan. Ternyata,
dua orang adik kembarnya mau dijadikan peliharaan suami Sekar. Dua orang
perempuan itu bahkan tanpa malu-malu membisikkan kehebatan laki-laki itu di
tempat tidur.
“ Luar biasa laki-laki jero. Dia sekarang ada didalam!”
Sekar bergidik mendengar komentar Luh Kerti yang keluar membukakan pintu dalam
kondisi sangat acak acakan. ( Tarian Bumi, 2007: 83 ).
Kutipan
di atas menunjukan harga yang harus dibayar mahal Luh Sekar karena telah
menukar kenyamanan hidupnya dengan memasuki dunia bangsawan. Akan tetapi Luh
Sekar tidak pernah menyerah untuk memperjuangkan impiannya menjadi seorang
bangsawan seutuhnya. Perhatian utama Luh Sekasr hanyalah pada anaknya, Ida Ayu
Telaga Pidada. Dia mendidik dan selalu mengingatkan Telaga akan darah biru yang
disandangnya dan berbagai peraturan yang harus Telaga ikuti, termasuk menikah
dengan lelaki yang mempunyai gelar Ida Bagus. Telaga ternyata tidak seperti
ibunya yang menjunjung nilai derajat kebangsawanan. Bagi Telaga, Luh Sekar
adalah seorang perempuan yang sangat aneh. Perempuan itu terlalu mengagungkan
nilai-nilai kebangsawanan. Pola pikirnya sulit diterima otak Telaga.
Menurut
telaga, kasta brahmana penuh dengankebohongan dan kemunafikkan. Telagapun
akhirnya jatuh cinta dengan Wayan Sasmitha, lelaki sederhana, seorang pelukis
dari kasta Sudra. Maka Telaga melepaskan jubah kebangsawanannya, merendahkan
dirinya, dan membunuh nama Ida Ayu-nya. Telaga tinggal bersama keluarga Wayan
di sebuah rumah sederhana dengan kehidupan yang sederhana pula, tapi Telaga
mendapatkan kebahagiaan yang sempurna.
Cerita-cerita
tentang Wayan terus mengalir. Telaga hanya bisa mendengarkan. Dia tidak ingin
mengatakan apapun pada dua orang perempuan yang memang suka membuat isu yang
aneh-aneh itu. Bagi Telaga, cintanya pada Wayan yang dalam hanya ubtuk dirinya.
Setiap kali kerinduan mengintip, Telaga hanya bisa menutup wajahnya dengan
bantal.
Menangis sepuasnya! (Tarian Bumi, 2007: 133)
Kutipan
di atas menunjukan betapa Telaga sangat mencintai Wayan Sasmitha dan terus
memperjuangkan cintanya walaupun banyak yang menentang. Hidup terus berjalan.
Ketika keberanian itu muncul dan semakin matang, Telaga harus berhadapan dengan
Luh Gumbreg, Ibu Wayan. (Tarian Bumi, 2007: 136)
Ternyata perempuan tua itu tidak berani menerimanya
sebagai menantu. Seorang laki-laki sudra dilarang meminang perempuan brahmana.
Akan sial jadinya bila Wayan mengambil Telaga sebagai istri. Perempuan sudra
itu percaya pada mitos bahwa perempuan brahmana adalah surya, matahari yang
menerangi gelap. Kalau matahari itu dicuri, bisakah dibayangkan akibatnya? (Tarian
Bumi, 2007: 137)
Pada
akhirnya Telaga tetap memperjuangkan haknya untuk menikah dengan laki-laki
pilihannya. Ia mendapatkan kebahagiaannya di tengah pertentangan keluarganya
dan keluarga Wayan. Telaga pun siap menanggung resiko yang akan diterimanya
akibat dari menantang adat.
Selanjutnya
adalah tokoh Kenten yang juga dianggap melakukan pemberontakan terhadap adat,
ia adalah seorang perempuan sudra dari keluarga sederhana, pekerjaannya
mengangkat kayu bakar dari pasar. Wujud penolakan dirinya terhadap adat yaitu
dengan ia tidak menikah dengan laki- laki. Kenten tidak ingin dibohongi laki-
laki. Budaya patriarki yang dimiliki oleh Bali menyebabkan laki- laki bebas
menikah lebih dari sekali, dan Kenten tidak ingin seperti itu. Budaya itu juga
yang selalu merendahkan kaum perempuan. Kenten tidak ingin dirinya tidak
dihormati dan dihargai oleh laki- laki.
“Aku tidak akan kawin, Meme. Aku tidak ingin
mereka bohongi. Aku benci seluruh laki-laki yang membicarakan perempuan dengan
cara tidak terhormat!” (Tarian Bumi, 2007: 34)
Selain
memperjuangkan haknya dalam memilih pasangan hidup, perempuan Bali juga
memperjuangkan hak untuk dapat hidup sejajar dengan lakilaki. Di Bali,
perempuan bekerja membanting tulang demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya,
sedangkan laki-laki hanya bermalas-malasan duduk di warung dari pagi hingga
siang hari hanya untuk mengobrol. Gambaran bahwa perempuan di Bali adalah
perempuan pekerja keras terdapat dalam kutipan berikut:
“ Tidak. Aku tidak senang dengan gunjingan laki-laki
yang duduk santai di kedai kopi setiap pagi. Sementara aku harus kerja keras,
kaki mereka terangkat dikursi....” ( Tarian Bumi, 2007 : 31).
Alangkah
mujurnya makhluk bernama laki-laki. Setiap pagi para perempuan berjualan di
pasar, tubuh mereka dijilati matahari. Hitam dan berbau. Tubuh itu akan
keriput.... ( Tarian Bumi, 2007 : 35 ).
Kutipan
tersebut menggambarkan bahwa perempuan selalu bekerja sedangkan laki-laki hanya
duduk di warung kopi. Perempuan yang bekerja keras akan tetapi laki-laki yang
menerima hasil kerja kerasnya perempuan. Sangatlah tidak adil bila laki-laki
memiliki hak yang lebih terutama dalam sistem perkawinan yang bebas menikah
dengan kasta manapun dan lebih dari satu kali menikah, sedangkan perempuan
hanya diperbolehkan menikah dengan satu kasta. Walaupun perempuan adalah
seorang yang bekerja keras akan tetapi tetap saja ia tidak mempunyai hak
istimewa dalam adat, perempuan selalu diremehkan keberadaannya. Perempuan Bali
dalam novel ini sangat taat dengan adat, mereka tidak berani untuk melawannya
akan tetapi bila dilihat di sisi lain perempuan Bali bila ingin maju maka
mereka harus melawannya walaupun akan menanggung resiko tinggi.
Berdasarkan
uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam hidup seorang perempuan
memang sepantasnya untuk memperoleh kesetaraan hidup dengan laki-laki, sehingga
perempuan pun bisa mendapatkan kebebasan seperti apa yang laki-laki dapatkan.
Menjadi seorang feminisme sosialis seperti di dalam novel Tarian Bumi,
salah satu caranya. Menentang adat dan budayanya sendiri demi tewujudnya
kesetaraan hak antara laki- laki dan perempuan tanpa memandang kelompok sosial
tertentu.
Sumber :
Handayani, Retno Dwi. 2010. Kajian
Stilistika Novel Sirah Karya Ay. Suharyana. Tersedia di
Http://Www.Google.Com/Url?Sa=T&Rct=J&Q=&Esrc=S&Source=Web&Cd=10&Ved=0cgoqfjaj&Url=Http%3a%2f%2feprints.Uns.Ac.Id%2f8763%2f1%2f149271608201002221.Pdf&Ei=8f2rure3f82trgfg24dwcw&Usg=Afqjcng_Pb3a2mrnp8je__Xemtttsae_Ia&Sig2=Hstkrzpfkvlttdbftk4t7q&Bvm=Bv.57967247,D.Bmk. Diakses tanggal 14 Desember 2013.
Sayukelabu. 2013. Kajian Hermeneutik Puisi “Kucari
Jawab” Karya J. E. Tatengkeng.Tersedia di http://sayukelabu.wordpress.com/2013/07/26/kajian-hermeneutik-puisi-kucari-jawab-karya-j-e-tatengkeng/.
Diakses tanggal 14 Desember 2013.
Mandrastuty,
Rany. 2010. Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Kajian
Feminisme. Tersedia di http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&ved=0CGAQFjAH&url=http%3A%2F%2Feprints.uns.ac.id%2F7246%2F1%2F122673007201007331.pdf&ei=B_6rUq_6Gc3qrQfLqICYDA&usg=AFQjCNFjXxGJ3c98_W5od49KraYkzMDinQ&sig2=DN_x28CC4kp6bPmhFUdnsQ&bvm=bv.57967247,d.bmk. Diakses tanggal 14 Desember 2013.
No comments:
Post a Comment