Thursday, April 9, 2015

Analisis Stilistika Novel



ANALISIS STILISTIKA DALAM NOVEL KUINGIN JADI SAJADAHMU
KARYA FAHRI F. FATHONI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Prosa Fiksi dan Drama
Dosen Pengampu : Andri Noviadi, S.Pd., M.Pd.



oleh :
CEP ANGGI FERDIANSYAH                      2108120011
INA ROHAENI                                  2108120027
LENI SITI SYAMSIAH                      2108120032
ALI RAFIQ ASARI                            2108120005
K. KUSWAN                                       2108120098
PUJA WIDIANA                                2108120046
LIANA MARLIANI                           2108120034
NOVAL HERDIANA                         210812            0042   

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS GALUH CIAMIS
2013
Ø  Biografi Penulis
Fahri F. Fathoni, lahir 17 Januari 1994 di Klaten, Jawa tengah. Di kota yang terletak dia antara kota Solo dan Jogja itu, ia menyelesaikan pendidikan di SDN 3 Klepu, SMPN 4 Delanggu dan SMA Muhammadiyah 1 Klaten. Pada tahun 2000 pernah menjadi juara III lomba penulisan cerpen tingkat Kabupaten yang diadakan oleh PD IPN (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) Klaten.



1.      Kajian Stilistika :  Diksi
Stilistika pada pilihan kata atau diksi dalam novel Kuingin Jadi Sajadahmu ini sebagai berikut:
1.1    Kata Konotatif yang Paling Dominan
Kata konotatif ini menunjuk pada makna bukan sebenarnya atau kias. Makna konotatif ini mempunyai peran aktif dalam menciptakan sebuah karya sastra dengan nilai estetika yang tinggi.
Data:
Selesai berdzikir, dengan mata berkaca-kaca, aku berdoa. (Fathoni : 11)
Gedung-gedung pencakar langit begitu banyak. (Fathoni : 21)
Memberi jalan cahaya untukku agar bisa berjalan di jalan yang bersinar dan diridhai-Nya. (Fathoni : 38)
Wajahku pucat pasi. (Fathoni : 49)
Aku bingung seribu bahasa. (Fathoni : 58)
Aku akan kembali lagi dengan membawa bingkisan manis, gumamku dalam hati. (Fathoni : 78)
Ternyata ia sedang asyik bermain emosi dengan membaca novelnya. (Fathoni : 79)
“Wahai bunga mawarku, apakah aku boleh bertanya ?” (Fathoni : 83)
Perutku kini sudah berisi benih cintaku dan Mas Robert. (Fathoni : 137)
Hatikuberbunga-bunga. (Fathoni : 209)
Analisis Data :
Data di atas merupakan beberapa cuplikan dalam novel Kuingin Jadi Sajadahmu, dari sekian kata-kata yang ditemukan banyak terdapat kata konotatif. Bentuk kalimat “matanya berkaca-kaca” dikonotasikan sebagai orang yang hendak menangis atau bahkan sudah mengalirkan air mata. Kata konotatif selanjutnya, diksi “ gedung-gedung pencakar langit” merupakan diksi yang dikonotasikan sebagai bangunan yang menjulang tinggi. Diksi terjal “jalan cahaya” dianalogikan sebagai jalan kebenaran. Pemilihan kata selanjutnya adalah kata “pucat pasi” kata ini dianalogikan sebagai wajah pucat seperti mayat.Diksi “diam seribu bahasa” dianalogikan sebagai diam tanpa kata. Diksi “bingkisan manis” dianalogikan sebagai kado kemenangan. Diksi “bermain emosi” dianalogikan sebagai sebuah penghayatan. Diksi “bunga mawarku” dianalogikan sebagai panggilan terhadap kekasih hati. Diksi “benih cintaku” dianalogikan sebagai jabang bayi yang sedang dikandung. Diksi “hatiku berbunga-bunga” dianalogikan sebagai sebuah perasaan yang sedang bahagia. Diksi-diksi yang bermakna konotatif tersebut diharapkan pembaca mempunyai kesan estetika tersendiri yang lebih menyentuh jiwa dari pembaca. 

                                                                                                                                                      
1.2    Kosa Kata Bahasa Jawa
Dalam novel Kuingin Jadi Sajahmu ini cukup banyak ditemukan kosa kata bahasa Jawa. Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor kultural pengarang yang dibesarkan di kalangang masyarakat etnik Jawa. Fahri F. Fathoni lahir di Klaten, Jawa Tengah. Faktor kultural ini yang mempengaruhi dia dalam mencipta sebuah karya sastra.
 Data :
“Oh, bagaimana kabarmu, le ?” (Fathoni : 123)
“Mau berangkat, Nduk ?” (Fathoni : 20)
“Wah, masih ingat. Aku yang punya rumah sajaratak gagas. (Fathoni : 33)
Monggo, Mbak, diunjuk.” (Fathoni : 48)
“Alhamdulillah, mboten wonten alangan, Paman!” (Fathoni : 49)
Analisi Data :
Data tersebut menunjukkan kompleksnya kosa kata bahasa Jawa yang dipakai oleh pengarang, mulai dari kata, pronomina, kata sapaan dan peribahasa dalam bahasa Jawa. Hal tersebut dipengaruhi faktor kultural pengarang yaitu kemampuan berbahasa ibu yang sudah fasih yaitu bahasa Jawa.

1.3    Kosa Kata Serapan : Bahasa Arab
Dalam novel Kuingin Jadi Sajahmu ini juga ditemukan penggunaan bahasa serapan yang berasal dari bahasa asing yaitu bahasa Arab. Kata-kata serapan yang berasal dari bahasa asing ini bertujuan untuk memperkaya khasanah kosakata bahasa Indonesia.
Data :
“Kalau begitu saya pulang dulu, Bu RT. Assalamualaikum.” ucapku. (Fathoni : 63) “Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan.” (Fathoni : 63)
Insya Allah.” Jawabku sembari beranjak pergi meninggalkan kediaman Bu RT. (Fathoni : 63)
Analisis Data :
Data tersebut menunjukkan bahwa pengarang banyak menggunakan kata serapan yang berasal dari bahasa Arab. Pengarang berusaha menyajikan kosakata serapan dari bahasa Arab yang mempunyai relevansi terhadap novel yang bernuansa Islami.
2.      Kajian Stilistika :  Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif adalah bahasa bermakna kias atau makna lambang. Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan pengarang. Bahasa figuratif mampu menghidupkan suasana, mengandung nilai estetika yang mendorong timbulnya kesan yang menyenangkan terhadap pembaca. Bahasa figuratif meliputi: permajasan, tuturan idiomatik dan peribahasa. Majas yang ditemukan dalam novel Kuingin Jadi Sajadahmu yaitu:
2.1 Majas Perbandingan
Data :
Hati yang semula semangat penuh dengan kobaran api, sekarang redup bakgua tak tersentuh manusia. (Fathoni : 39-40)
Rasa letih di tubuh sirna sudah. Berat di pundak dan pinggul serasa rontok bakeskutub mencair. (Fathoni : 51)
Burung gereja itu laksanapencuri profesional yang tanpa osa mencui biji-biji gabah. (Fathoni : 80)
Bibir boleh tersenyum lega, tetapi hati ini bergemuruh sepertigempa bumi. (Fathoni : 100)
Rumah penduduk laksana semut laksanasemut yang mengelilingi gedung pencakar langit. (Fathoni : 115)
Hati ini sepertigua tidak berpenghuni, gelap dan pengap. (Fathoni : 137)
Pertanyaan Farid seolah-olah sepertipetir yang merobek langit hatiku. (Fathoni : 150)
“Fira, istriku tercinta, aku akan mencintaimu sepertiudara mencintai angin. (Fathoni : 209)
Analisis Data :
Data tersebut menunjukkan majas perbandingan. Majas perbandingan ditandai dengan penggunaan kata pembanding: seperti, bagai, bagaikan, bak, laksana dan lain-lain. Data “bak gua tak tersentuh” diibaratkan sebagai suatu perasaan yang sangat sepi. Data “bak es kutub mencair” diibaratkan sebagai rasa lelah yang terobati. Data “laksana pencuri profesional” diibaratkan sebagai kelihaian seekor burung mencuri gabah. Data “seperti gempa bumi” diibaratkan sebagai suatu perasaan gelisah. Data “laksana semut yang mengelilingi gedung pencakar langit” diibaratkan sebagai rumah-rumah di sekitar gedung. Data “seperti gua tidak berpenghuni” diibaratkan sebagai suatu perasaan yang sepi. Data “seperti petir yang merobek langit hatiku” diibaratkan sebagai sebuah rasa kecewa. Data “seperti udara mencintai angin” diibaratkan sebagai sebuah kesetiaan.

2.2 Majas Personifikasi
Majas personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau tidak bernyawa seolah-olah memilki sifat-sifat kemanusiaan.
Data :
Embun yang jatuh ke tanah karena terkena angin subuh membawa suara-suara surga. (Fathoni:9)
Udara sejuk membelai hidungku dengan lembut. (Fathoni:20)
Sudut-sudut jilbabku melambai-lambai tertiup oleh semilir angin pagi. Begitu juga wajahku dibelai lembutnya angin. (Fathoni:21)
Hamparan padi hijau bergerakteratur teterpa angin. (Fathoni:30)
Padi yang bergoyang seakan-akan ikut mendengarkan lantunan adzan. Sinar senja menyapu disela-sela pepohonan rindang. Sekawanan burung gereja beraktraksi diangkasa, seakan-akan senja milik burung gereja itu. (Fathoni:43)
Angin juga membelai lembut wajahku ketika aku shalat ashar di kamar. Menyapu udara pengap dan menggantikannya dengan udara sejuk. (Fathoni:43)
Pohon bambu berayun menghasilkan irama alam yang merdu. Padi-padi menari memukau. (Fathoni:59)
Sebahagia menyambut pagi yang penuh embun dan lantunan irama alam menggoyangkan rerumputan yang sedang bertasbih. (Fathoni:136)
Angin semilir membelai mentari yang sedang ceria menyinari bumi. (Fathoni:207)
Analisis Data :
Data tersebut menunjukkan majas personifikasi bahwa benda mati seolah-olah dianggap hidup. Padahal perbuatan itu hanya bisa dilakukan oleh manusia sebagai benda hidup dan tidak bisa dilakukan oleh benda mati.  

3) Majas Hiperbola.
            Majas hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
Data:
Sinar matahari semakin menyengat dikulitku.(Fathoni:30)
Genting-genting menghitam dimakan usia. (Fathoni:32)
Analisis Data :
Data tersebut menunjukkan majas hiperbola. Suatu bentuk pernyataan yang melebih-lebihkan bahwasanya tidak mungkin matahari dapat menyengat kulit manusia, karena menyengat biasanya dilakukan oleh seekor lebah. Majas hiperbola tersebut berfungsi menggambarkan keadaan cuaca panas. Sedangkan “dimakan usia” menggambarkan genting-genting yang telah lama.

4) Majas Anadiplosis.
            Majas anadiplosis adalah majas yang berwujud perulangan kata atau frasa terakhir dari suatu klausa/kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa/kalimat berikutnya.
            Data:
Kini hari berubah menjadi minggu, minggu menjadi bulan.(Fathoni:149)
Analisis Data :
Data tersebut menunjukkan majas anadiplosis yaitu perulangan frasa atau kata menit, frasa selanjutnya yaitu jam. perulangan tersebut terletak pada kata atau frasa terakhir menjadi kata atau frasa dari klausa atau kalimat berikutnya.

5) Majas Metafora
            Majas metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal yang secara langsung atau kiasan langsung.
            Data:
Bau khas pasar menusuk hidungku. (Fathoni:25)
Kami berpelukan berpayung kesedihan. (Fathoni:148)
Mega mendung tiba-tiba menggumpal didalam kepalaku. Mencari sinar dihati sangatlah sulit. (Fathoni:40)
Analisi Data :
Data tersebut menunjukkan majas metafora. “menusuk hidungku” melukiskan aroma tak sedap langsung mengganggu indra penciuman. “berpayung kesedihan” melukiskan suatu keadaan yang diselimuti rasa sedih. “mega mendung tiba-tiba menggumpal” melukiskan suatu keadaan bingung.

·         Kajian Stilistika: Idiomatik
            Idiomatisadalah kata-kata yang mengandung makna idiom. idiom merupakan pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa. Biasanya idiom berbentuk sebuah frasa dan maknanya tidak diterangkan secara logis. Kata idiomatik dalam novel Ku Ingin Jadi Sajadahmu ini adalah sebagai berikut:
Data:
“Kenapa kamu terjerumus dalam dunia hitam seperti ini?”(Fathoni:191)
Analisis Data :
Ungkapan idiomatik tersebut terlihat pada frasa “dunia hitam”. Secara harafiyah kata dunia merupakan kata benda, dan kata hitam merupakan kata sifat.  Ungkapan idiom ini menggambarkan keadaan seseorang yang terjerumus ke dalam kemaksiatan.

·         Kajian Stilistika: Pribahasa
Pribahasa adalah satu satu bentuk idiom berupa kalimat yang susunannya tetap dan menunjukkan perlambang kehidupan.
Data:
“Awas nanti kalau sampe ketemu! Serigala berbulu domba. Kurang ajar!” umpat farid. (Fathoni:148)
Bangkai yang disimpan suatu saat pasti ketahuan baunya” (Fathoni:185)
Analisis Data :
Peribahasa tersebut mempunyai makna yang artinya suatu perbuatan buruk meskipun ditutup dengan rapat, lama kelamaan juga akan tampak. “serigala berbulu domba” memiliki arti seseorang yang luarnya terlihat baik, namun sebenarnya ia jahat.

3.      Kajian Stilistika :  Citraan
Citraan merupakan gambaran ynag seolah-olah menjadi pengalaman yang kongkret. Gambaran pikiran yang berdampak pada efek pikiran yang dihasilkan oleh pangkapan panca indera. Citraan dalam novel Ku Ingin Jadi Sajadahmu ini antara lain: citraan visual, citraan perasa, citraan audio, dan citraan moral + religius.
3.1 Citraan Visual
Data :
Padiitu bergoyang mengikuti irama alam yang bernada. (Fathoni:21)
Hamparan padi hijau bergerak teratur teterpa angin. (Fathoni:30)
Gedung-gedung pencakar langit tampak berdiri perkasa. (Fathoni:115)
Analisis Data :
Data tersebut menunjukkan adanya citraan visual. Pengarang berusaha mengajak pembaca dengan memberikan gambaran bahwa pembaca seolah-olah diajak untuk melihat keadaan alam.

3.2 Citraan Perasaan
Data :
Cinta yang dulunya indah kini menjadi noda hitam dihatiku. istana cinta megah kini menjadi hancur menjadi bubur. (Fathoni:145)
Hatiku berdesir kencang. Seolah-olah pintu mimpi terbuka didepan mata. (Fathoni:36)
Hatiku bergemuruh. Rasa pesimis segera menemaniku. (Fathoni:94)
Bibir boleh tersenyum lega, tetapi hati ini bergemuruh seperti gempa bumi.(Fathoni:100)
Analisis Data :
Data tersebut menunjukkan citraan perasa. Pengarang mengajak pembaca seolah-olah ikut merasakan yaitu rasa kesakitan, kecewa, sedih.

3.3 Citraan Audio
Data :
Aliran sungai yag gemericik seperti membisikkan hati untuk selalu tenang. (Fathoni:21)
Lantunan irama alam menggoyangkan rerumputan yang sedah bertasbih. (Fathoni:136)
Analisi Data :
Data tersebut menunjukkan citraan audio atau pendengaran. Pengarang menyajikan citraan ini agar pembaca mendengar bunyi dering yang berasal dari alam.

3.4 Citraan Moral dan Religius
Data :
Aku beranjak ke kamar tamu. Mengambil Al-quran di tas, kemudian melanjutkan bacaan Surat Al-Furqaan yang tadi aku baca di pasar. Aku melanjutkan dengan pelan. Ayat demi ayat, penuh penghayatan. Setengah jam aku membaca Al-quran, tak terasa adzan dzuhur berkumandang. (Fathoni:32)
Analisis Data :
Data tersebut menunjukkan adanya citraan moral yang bernuansa religius. Pengarang memberikan gambaran bahwa  moral seorang gadis Fira Anggraheni mempunyai kepribadian baik, sholehah, dan mandiri.

















SIMPULAN

Kajian stilistika pada novel Kuingin Jadi Sajadahmukarya Fahri F. Fathoni inimerupakan novel yang penggunaan bahasanya memperlihatkan isi dan kesatuan karya dari unsur-unsur cerita. Penggunaan diksi, bahasa figuratif, dan pencitraan di dalamnya membuat novel ini sarat makna. Novel ini mengandung nilai estetika sehingga memberikan kesan menarik terhadap para pembaca. Pengarang menyajikan cerita bernuasansa islami, dengan demikian pembaca dapat mengambil hikmah dan menjalani hidupnya lebih religius.







No comments:

Post a Comment