BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Menurut
Wellek&Warren,
1990:3
dalam Aulia Melani (2011)
Sastra adalah
suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Maksud
sebagai karya seni yaitu sastra memiliki unsur-unsur keindahan yang terkandung
di dalamnya. Karya sastra pada
hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan
tentang kehidupan manusia. Menurut Sarjidu (2004:2) dalam Aulia Melani (2011)
mengatakan bahwa kemunculan sastra lahir
dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi
dirinya.
Novel
merupakan salah satu karya sastra. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
novel adalah tulisan berupa karangan prosa yang panjang dan menceritakan sebuah
kisah. Novel merupakan
teks hasil pemikiran yang lahir dari daya cipta, imajinatif, kreatif dan
eksploratif pengarang terhadap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia
yang di dalamnya terdapat unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dalam pembagiannya
novel terdiri dari novel klasik dan novel modern. Novel klasik mempunyai fungsi sosial, yaitu memanusiakan para pembacanya.
sedang novel modern kebanyakan berfungsi personal yaitu membuat para pembaca
ingin cepat selesai membacanya karena bersifat menghibur. Namun di balik itu,
setelah membaca dan mengerti novel klasik kita akan lebih menikmati dan terasa
lebih manusiawi daripada membaca novel modern yang sifatnya hanya menghibur.
Berdasarkan
hal di atas, novel yang akan saya analisis adalah novel klasik “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis dan novel modern “Cinta
untuk Ayah” karya Rizki Maulani Nasution. Terpilihnya kedua novel ini karena ingin mengetahui isi serta perbedaan
antara novel klasik dan novel modern dalam segi tema, alur, tokoh, perwatakan, latar
(setting), sudut pandang, gaya
bahasa dan amanatnya.
Adapun
cara menganalisis kedua novel ini melalui pendekatan struktural, yaitu dengan
menganalisis unsur intrinsik yang terdapat dalam kedua novel ini. Pada akhirnya dapat memberikan simpulan mengenai
perbedaan novel klasik dan modern berdasarkan analisis struktural tersebut.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas,
saya mencoba mengidentifikasi masalah novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis dan novel “Cinta
untuk Ayah” karya Rizki Maulani Nasution. Identifikasi masalahnya sebagai berikut:
a. Apa tema kedua novel ini?
b.
Bagaimanakah
alur kedua novel ini?
c.
Siapa
sajakah tokoh kedua novel ini?
d.
Bagaimanakah
perwatakan kedua novel ini?
e.
Dimanakah
latar (setting) kedua novel ini?
f.
Bagaimanakah
sudut pandang kedua novel ini?
g.
Bagaimanakah
gaya bahasa kedua novel ini?
h.
Apa
amanat kedua novel ini?
1.3 TUJUAN
Adapun
tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu:
a.
Untuk
mendekskripsikan tema kedua novel ini.
b.
Untuk
mendeskripsikan alur kedua novel ini.
c.
Untuk
mendeskripsikan tokoh kedua novel ini.
d.
Untuk
mendeskripsikan perwatakan kedua novel ini.
e.
Untuk
mendeskripsikan latar (setting) kedua novel ini.
f.
Untuk
mendeskripsikan sudut pandang kedua novel ini.
g.
Untuk
mendeskripsikan gaya bahasa kedua novel ini.
h.
Untuk
mendeskripsikan amanat kedua novel ini.
1.4 MANFAAT
a.
Manfaat secara umum, analisis kedua novel ini
dapat memberikan wawasan kepada pembaca maupun penulis makalah mengenai nilai
struktural yang terkandung dalam novel “Salah Asuhan” dan “Cinta
untuk Ayah”.
b.
Manfaat secara khusus, makalah analisis novel
ini merupakan media analisis penulis dalam memahami hubungan nilai struktural
yang terdapat dalam novel “Salah Asuhan” dan “Cinta untuk Ayah”.
c.
Secara teoritis, analisis ini diharapkan dapat
memberikan sumbangasih pemahaman dan pemikiran bagi pengembangan ilmu sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1
LANDASAN
TEORI
a.
Pengertian
Novel Menurut Para Ahli
Menurut Sudjiman 1984: 53 dalam Aulia Melani (2011), novel adalah
prosa rekaan yang panjang dengan menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan
serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun.
Dalam The American College
Dictionary (Tarigan, 1984: 164) dalam Indokultwit (2011) bahwa novel adalah
suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan
para tokoh, gerak serta dengan adegan nyata representatif dalam suatu alur atau
suatu keadaan yang kacau atau kusut.
Menurut H.B. Jassin (1977: 64) dalam
Indokultwit (2011) menyebutkan bahwa novel sebagai karangan prosa yang bersifat
cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan
orang-orang.
Menurut Sumardjo dan Saini (1997:29)
dalam Indokultwit (2011) istilah novel sama dengan istilah roman, kata novel
berasal dari bahasa Italia dan bertembang di Inggris dan Amerika Serikat. Roman
dan novel mempunyai perbedaan yakni bentuk novel lebih pendek dibanding dengan
roman, tetapi ukuran luasnya unsur cerita hampir sama.
Menurut (Abrams dalam Nurgiyantoro,
2000:9) dalam Indokultwit (2011) dalam bahasa Jerman istilah novel yaitu
novelle, dan secara harafiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan
kemudian diartikan sebagai cerita yang pendek dalam bentuk prosa.
Menurut Jakob
Sumardjo Drs dalam Arman Maharani (2013) novel adalah bentuk sastra yang paling
popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak dicetak dan paling banyak
beredar, lantaran daya komunitasnya yang luas pada masyarakat.
Menurut Dr. Nurhadi, Dr. Dawud, Dra. Yuni Pratiwi,
M.Pd, Dra. Abdul Roni, M. Pd dalam Arman Maharani (2013) novel adalah bentuk
karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya social, moral, dan
pendidikan.
Menurut Drs.
Rostamaji,M.Pd, Agus priantoro, S.Pd dalam Arman Maharani (2013) novel
merupakan karya sastra yang mempunyai dua unsur, yaitu : undur intrinsik dan
unsur ekstrinsik yang kedua saling berhubungan karena sangat berpengaruh dalam
kehadiran sebuah karya sastra.
b.
Unsur-unsur
Novel
Novel mempunyai unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya yaitu :
1.
Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik menurut
beberapa ahli terdiri dari :
a.
Tema
Menurut Tarigan (2008:166) dalam Winda (2009) tema adalah
gagasan utama atau pikiran pokok. Tema suatu karya sastra imajinatif merupakan
pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca yang cermat sebagai akibat
membaca karya tersebut.
Menurut Staton
dan Kenny dalam Nurgiyantoro (2007:67) dalam Winda (2009) tema adalah makna yang dikandung oleh
sebuah cerita.
Menurut
Aminuddin
(2004:91)
dalam Winda (2009) tema adalah ide yang mendasari suatu
cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam
memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.
Menurut Drs. Rustamaji, M.Pd, Agus
priantoro, S.Pd dalam Arman Maharani (2013) tema merupakan ide pokok atau
permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel.
Menurut
Sugiarti, 2007:37 dalam Adisan Jaya (2012) tema merupakan ide yang mendasari
suatu cerita yang terbentuk dalam sejumlah ide, tendens, motif, atau amanat
yang sama, yang tidak bertentangan satu dengan yang lainnya.
b.
Alur
Menurut
Aminuddin, 2004:83 dalam Winda (2009) alur dalam
cerpen atau karya sastra fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang
dihadirkan oleh para pelaku dalam cerita.
Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2007:113) dalam Winda (2009) alur atau plot
adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan peristiwa yang lain.
Menurut
Sugiarti, 2007: 62 dalam Adisan Jaya (2012) alur merupakan rangkaian peristiwa
atau kejadian yang sambung menyambung dalam sebuah cerita atau dapat dikatakan
sebagai suatu jalur lintasan urutan peristiwa yang berangkai sehingga
menghasilkan suatu cerita.
Alur adalah urutan atau
rangkaian peristiwa dalam cerita. Alur dapat disusun berdasarkan tiga hal,
yaitu:
1. Berdasarkan urutan waktu terjadinya (kronologi). Alur yang demikian disebut
alur linear.
2. Berdasarkan hubungan sebab akibat (kausal). Alur yang demikian disebut alur
kausal.
3. Berdasarkan tema cerita. Alur yang demikian disebut alur tematik. Dalam
cerita yang beralur tematik, setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri.
Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.
c.
Tokoh
Menurut Aminudin (2002: 79) dalam Riri (2011) tokoh
adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa
itu mampu menjalin suatu cerita.
Aminuddin (2004:79-80) dalam Winda (2009) menggolongkan
tokoh berdasarkan peranan dan keseringan pemunculannya yaitu tokoh utama dan
tokoh tambahan.
a.
Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peranan penting
dalam suatu cerita.
(Aminuddin,
2004:79).
b.
Tokoh Tambahan
Tokoh
tambahan adalah tokoh yang memiliki peranan yang tidak penting karena
pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh
tambahan atau tokoh pembantu. (Aminuddin, 2004:79-80).
d.
Perwatakan
Menurut
Sugiarti, 2007: 94 dalam Adisan Jaya (2012) perwatakan merupakan pemberian
sifat baik lahir maupun batin pada seorang pelaku atau tokoh yang terdapat pada
cerita.
e. Latar (Setting)
Menurut Drs, Rustamaji, M.Pd, Agus
Priantoro, S.Pd dalam Arman Maharani (2013) setting merupakan latar belakang
yang membantu kejelasan jalan cerita, setting ini meliputi waktu, tempat,
social budaya.
Menurut Sugiarti, 2007:55 dalam Adisan Jaya (2012) setting
merupakan tempat terjadinya peristiwa baik yang berupa fisik, unsur tempat,
waktu dan ruang ataupun peristiwa cerita.
Menurut
Sudjiman, 1988:44 dalam Nesaci (2010) latar adalah cerita berkisah tentang
seseorang atau beberapa tokoh. Peristiwa-peristiwa dalam cerita tentulah
terjadi pada suatu rentang waktu tertentu dan pada suatu tempat tertentu.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan
yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu
karya sastra membangun latar cerita
f.
Sudut Pandang
Menurut
Nurgiyantoro,
2007:248
dalam Winda (2009) sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,
siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan
ceritanya.
Menurut Tarigan (2008:136) dalam Winda (2009) sudut pandang adalah posisi fisik, tempat
persona/pembicara melihat dan menyajikan gagasan-gagasan atau
peristiwa-peristiwa; merupakan perspektif/pemandangan fisik dalam ruang dan
waktu yang dipilih oleh penulis bagi personanya, serta mencakup
kualitas-kualitas emosional dan mental persona yang mengawasi sikap dan nada.
Menurut
Sugiarti, 2007: 105 dalam Adisan Jaya (2012) sudut pandang merupakan hubungan
antara tempat atau posisi pencerita dan bagaimana visinya terhadap cerita yang
dikisahkan.
g.
Gaya Bahasa
Menurut
Drs. Rustamaji, M,Pd, Agus Priantoro, S.Pd dalam
Arman Maharani (2013) Gaya Bahasa merupakan gaya yang dominan dalam sebuah novel.
h.
Amanat
Menurut
Nurgiyantoro (1995: 335) dalam Winda (2009) amanat adalah gagasan yang mendasari
cerita atau pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat
merupakan pemecahan suatu tema yang mencerminkan pandangan hidup pengarang. Berdasarkan
cara penyampaiannya, Nurgiyantoro (1995: 335) membaginya dalam dua wujud, yaitu
penyampaian
langsung dan penyampaian tidak langsung.
langsung dan penyampaian tidak langsung.
2.
Unsur Ekstrinsik
Analisis
aspek unsur ekstrinsik ialah analisis karya sastra itu sendiri dari segi
isinya, dan sepanjang mungkin melihat kaitannya dengan kenyataan-kenyataan di
luar karya sastra itu sendiri. Menurut Sugiarti, 2007: 22 dalam Adisan Jaya
(2012) aspek ekstrinsik terdiri dari aspek sosial, budaya, ekonomi, agama,
maupun pendidikan.
c. Pendekatan Struktural dalam Novel
Pendekatan strukturalisme murni hanya berada di seputar
karya sastra itu sendiri. Prinsipnya jelas: analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,
sedetail, dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya
sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh ( Teeuw, 1984:135 dalam Aulia Melani, 2011).
Dalam ilmu sastra pengertian “strukturalisme” sudah dipergunakan dalam berbagai cara. Istilah “struktur”
ialah kaitan-kaitan tetap antara kelompok –kelompok
gejala. Kaitan-kaitan tersebut diadakan oleh seorang peneliti
berdasarkan observasinya. Misalnya, pelaku-pelaku dalam sebuah novel dapat
dibagikan menurut kelompok-kelompok sebagai berikut: tokoh utama, mereka yang
melawannya, mereka yang
membantunya, dan seterusnya. Pembagian menurut kelompok-kelompok didasarkan
atas kaitan atau hubungan. Hubungan-hubungan tersebut bersifat tetap, artinya
tidak tergantung pada sebuah novel tertentu (Luxemburg, 1984:36 dalam Aulia Melani, 2011).
Analisis
struktural adalah bagian yang terpenting dalam merebut makna di dalam karya
sastra itu sendiri. Penelitian struktural dipandang lebih objektif karena hanya
berdasarkan sastra itu sendiri. Peneliti strukturalis biasanya mengandalkan
pendekatan egosentrik yaitu pendekatan penelitian yang berpusat pada teks
sastra itu sendiri. Penekanan strukturalis adalah memandang karya sastra
sebagai teks mandiri. Penelitian dilakukan secara objektif yaitu menekankan
aspek intrinsik karya sastra (Endraswara, 2003: 25 dalam Melly, 2011).
Pendekatan
struktural berusaha untuk objektif dan analisis bertujuan untuk melihat karya
sastra sebagai sebuah sistem, dan nilai yang diberikan kepada sistem itu amat
tergantung kepada nilai komponen-komponen yang ikut terlibat di dalamnya (Semi,
1993: 68 dalam Melly, 2011).
Dalam lingkup karya fiksi, Stanton ( 1965: 11-36, dalam
Drs. Tirto Suwondo, Metodologi Penelitian Sastra, 2001:56 dalam Aulia Melani, 2011)
mendeskripsikan unsur-unsur
pembangun struktur terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta
cerita itu sendiri terdiri atas alur, tokoh, dan latar; sedangkan sarana sastra
biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan suasana, simbol-simbol,
imaji-imaji, dan juga cara-cara pemilihan judul. Di dalam karya sastra, fungsi
sarana sastra adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya
sastra itu dapat dipahami dengan jelas.
2.2
PEMBAHASAN
Dalam makalah
ini, saya menganalisis novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis dan novel “Cinta
untuk Ayah” karya Rizki Muliani Nasution dengan menggunakan beberapa unsur
intrinsik
novel, yaitu : tema,
alur, tokoh, perwatakan,
latar (setting), sudut pandang, gaya bahasa dan amanat. Penjelasannya
akan saya sajikan
setiap bagiannya agar jelas dan dapat dipahami.
a. Tema
Adapun
tema yang terdapat pada novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis mengenai perbedaan adat istiadat antara Eropa
dan Pribumi. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan di bawah ini:
“Dalam pergaulan bangsaku, bangsa Eropa sungguh longgarlah pergaulan
antara laki-laki dengan perempuan. Tapi sebab sudah galib, tidaklah akan cepat
orang berbuat fitnah atau menyangka buruk, apabila kelihatan laki-laki bergaul
dengan perempuan lain, yang bukan ahli karibnya. Tetapi dalam pergaulan
bangsamu, apabila di tanah Sumatra ini, lain keadaannya. Jangankan dengan
perempuan lain, dengan ahlinya yang paling karib, sekalipun dengan adik atau
kakaknya sendiri, sudah disebut janggal, apabila ia bergaul atau duduk bersenda
gurau, bahkan berjalan berdua-dua.”
(hal 3, paragraf 2).
Bahkan adat istiadat dalam hal
perkawinan antar bangsa. Sebagaimana dalam kutipan di bawah ini:
“Perbedaan itu sungguh ada, Corrie, dan sungguh besar sekali.
Sebabnya tiada lain karena penyakit “kesombongan bangsa” itu juga. Orang Barat
datang ke mari dengan pengetahuan dan perasaan bahwa ialah yang dipertuankan
bagi orang di sini. Jika ia datang ke negeri ini dengan tidak membawa nyonya
sebangsa dengan dia, tidak dipandang terlalu hina, bila ia mengambil nyai dari
sini. Jika nanti nyai itu beranak, pada pemandangan orang barat itu sudahlah ia
berjasa besar tentang memperbaiki bangsa dan darah di sini. Tapi lain sekali
keadaannya pada pertimbangan orang barat itu, kalau sampai seorang nyonya barat
sampai bersuami bahkan beranak dengan orang sini. Terlebih dahulu nyonya itu
dipandang seolah-olah sudah menghinakan dirinya sebagai bangsa Barat, dan
dikatakan sudah membuang diri kepada orang sini. Di dalam UU negeri iapun
segera dikeluarkan dari hak orang Eropa. Itu saja sudah tidak dengan
sepatutnya, istimewa pula bila diketahui, bahwa seorang bangsa Bumiputra yang
minta dipersamakan haknya dengan Eropa, selama-lamanya tidak boleh
menghilangkan lagi hak itu dan menjadi Bumiputra pula, karena tidaklah ada
sesuatu fasal di dalam UU yang boleh menggugurkan haknya sebagai orang Eropa.
Tapi seorang perempuan bangsa Eropa yang kawin dengan orang Bumiputra, selama
ditangan suaminya itu, akan kehilangan haknya sebagai orang Eropa. Terlebih
hina kedudukannyadi dalam pergaulan bangsa Eropa sendiri. Jika nyonya itu
sampai beranak, dipandang bahwa ia turut mengurangi derajat bangsa Eropa.” (hal 16, paragraf 2)
Adapun tema
yang terdapat dalam novel Cinta untuk Ayah karya Rizki maulani Nasution
adalah kepolosan seorang putri kecil yang mencintai ayahnya. Sebagaimana dalam
kutipan di bawah ini:
“Ayahku adalah ayah yang paling baik dan paling tampan sedunia.”
(halaman 9, paragraf 2)
b. Alur
Adapun alur
yang terdapat pada novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis dan novel “Cinta
untuk Ayah” karya Rizki Maulani Nasution adalah alur linear (teknik
kronologis) karena pengarang
menceritakan kisah ke masa selanjutnya. Seperti pada kutipan di bwah ini:
“Dua tahun
sudah berjalan, setelah jadi perundingan Hanafi dengan ibunya tentang beristri
itu. Sebelum ia membenarkan kata ibunya, iapun sudah dinikahkan dengan Rapiah.”
(halaman 73, paragraf 1). Sedangkan dalam novel “Cinta untuk Ayah”,
buktinya terdapat dalam keseluruhan isi novel yang menceritakan kejadian secara
kronologis.
c. Tokoh
Adapun
tokoh-tokoh yang terdapat di dalam novel “Salah Asuhan” karya Abdoel
Moeis diantaranya:
a.
Hanafi
b.
Corrie
c.
Rapiah
d.
Ibu
Hanafi
e.
Tuan
du Bussee
f.
Syafei
g.
Si
Buyung
h.
Nyonya
Pension
i.
Piet
j.
Nyonya
Van Dammen
k.
Tuan
Aministratur
Berdasarkan
uraian di atas tokoh sentral dalam novel “Salah Asuhan” karya Abdoel
Moeis yaitu Hanafi, Corrie, Rapiah dan Ibu Hanafi, sedangkan yang lainnya
termasuk tokoh bawahan.
Tokoh-tokoh
yang terdapat dalam novel “Cinta untuk Ayah” karya Rizki Maulani
Nasution diantaranya:
a.
Syifa
b.
Adly
c.
Lia
d.
Rahmat
e.
Bu
Maryam
f.
Risa
Berdasarkan
uraian di atas, tokoh sentral dalam novel “Cinta untuk Ayah” karya Rizki
Maulani Nasution yaitu Shifa dan Adly, sedangkan yang lainnya tokoh bawahan.
d. Perwatakan
Adapun
perwatakan yang terdapat dalam novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis
berdasarkan tokoh-tokoh di atas yaitu:
a.
Hanafi
wataknya sombong, keras kepala, kasar dan durhaka.
-
Sombong
“Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung semua.” (halaman 25,
paragraf 2).
-
Keras kepala
“Tapi Hanafi sekali-kali tidak mengindahkan segala kesenangan
ibunya itu. Setiap sudut di dalam rumah sudah dipenuhi dengan meja-meja kecil,
tempat bunga dan lain-lain, sedang yang diadakan oleh ibunya buat kesenangan
orang tua itu dibantahinya.” (halaman
25, paragraf 1).
“kadang Hanafi amat keras kepala jika kehendaknya dibantah atau
katanya disolang.” (halaman 162, paragraf 5).
-
Kasar
“Hai Buyung! Antarkan anak itu dahulu ke belakang! kata Hanafi
dengan suara bengis dari jauh.”
(halaman 84, paragraf 4).
-
Durhaka
“Hanafi!Anakku, tahulah engkau apa hukuman anak yang durhaka pada
ibunya?.” (halaman 93, paragraf 3)
b.
Corrie wataknya
sabar, pikiran tulus alam luas, jinak-jinak merpati, baik, dan mudah bergaul.
-
Sabar, pikiran
tulus, alam luas
“Ya Tuan Han, belum sebulan istri Tuan di rumah saya, rasanya ia
sudah menjadi darah dagingku. Ah, hati sabar, pikiran tulus, alam luas, pendeknya
berkumpulah segala sifat-sifat yang mulia pada perempuan yang seorang itu.”
(halaman 234, paragraf 4).
-
Jinak-jinak
merpati
“Corrie tinggal berbudi manispada sekaliannya, tapi jika perangai
mereka serupa hendak melampaui baris, maka dengan segala manisnya pula Corrie
seolah-olah membangunkan benteng yang teguh membatasi mereka, hingga tak adalah
yang berani mendekatinya.”
(halaman 13, paragraf 3).
-
Baik
“Kepada suamiya tak sekali-kali kekurangan tentang adab dan tertib
atau ramah tamahnya.” (halaman 162, paragraf 4).
-
Mudah bergaul
“Oh, ruangan di dalam jantung Tuan Hanafi amat luas”, kata Corrie
sambil tertawa, “buat menempatkan dua tiga orang perempuan saja masih
berlapang-lapang.” (halaman 7, paragraf 4).
c.
Rapiah wataknya
sabar, apa adanya, perhatian dan baik.
-
Sabar
“Rapiah yang tahu arti misbruik itu, menundukkan kepala, alamat
bersyukur atas kemurahan hati junjunan itu.” (halaman 77, paragraf 2).
“Rapiah tunduk tidak menyahut, hanya air matanya saja yang
berhamburan.” (halaman 86, paragraf 5).
-
Apa adanya
“Rapiah memang sudah kehilangan gentar atau malu, memperlihatkan
rupa secara itu ke muka sahabat-sahabatnya.” (halaman 86, paragraf 2).
-
Perhatian
“Sementara itu terdengarlah suara Rapiah, yang sedang menimang dan
menidurkan anaknya. Syafei ditidurkannya selalu dengan nyanyian.” (halaman 91,
paragraf 1).
-
Baik
“Tidak, bu, cobalah ibu dekati orang Belanda itu, nanti ibu akan
yakin, bahwa ia tidak pemakan orang.” (halaman 130, paragraf 5).
“Jika sungguh-sungguh Ibu hendak mengambil aku pengganti Hanafi,
bawalah aku kemana kehendak ibu. Hanya bila ibu rindu hendak ke Betawi,
antarkanlah kami ke Bonjol.”
(halaman 138, paragraf 2).
d.
Ibu Hanafi
wataknya baik, sabar, lemah lembut, pemaaf.
-
Baik
“Kesenangan ibu, hanyalah duduk di bawah, sebab semenjak ingatku
duduk di bawah saja.” (halaman 25, paragraf 3).
-
Sabar
“Astagfirullah, Hanafi! Turutkanlah ibumu mengucap menyebut nama
Allah, supaya lapang bumi Allah bagimu dan tidak akan bertutur lagi dengan
sejauh itu tersesatnya.”
(halaman 89, paragraf 8).
-
Lemah Lembut
“Maka berkatalah ibunya dengan lemah lembut.”
(halaman 260, paragraf 2).
-
Pemaaf
“Ya, Anakku! Sudah lama engkau aku ampuni.”
(halaman 272, paragraf 3).
e.
Tuan du Busse
wataknya pemberani dan tegas.
-
Pemberani
“Yang amat disukai oleh Tuan du Bussee ialah berburu harimau.” (halaman
10, paragraf 4).
-
Tegas
“Tapi Corrie mesti bersekolah yang sepatut-patutnya.” (halaman 11,
paragraf 5).
f.
Syafei wataknya
polos, seperti dalam kutipan di bawah ini:
“Syafei memandang dengan mata yang berkilau-kilauan kepada sekalian
balon yang disisip-sisipkan pada sebilah pelapah enau, berkata dengan gembira
dan melupakan segala ketakutan, “yang merah-yang merah.”
(halaman 246, paragraf 8)
g.
Si Buyung wataknya
penurut, seperti dalam kutipan di bawah ini:
“Si Buyung menolak kereta itu sampai ke dapur, lalu menceritakan
apa yang diperintahkan kepadanya.”
(halaman 84, paragraf 7)
h.
Nyonya Pension
wataknya taat beragama. Sebagaimana dalam kutipan di bawah ini:
“Ya Nyonya”, sahut nyonya Pension, yang taat pada agamanya.” (halaman
193, paragraf 1).
\
i.
Piet wataknya
baik, seperti dalam kutipan di bawah ini:
“Terima kasih, Piet! Terima kasih pula atas nasihat dan tutur
katamu.” (halaman 221, paragraf 5).
j.
Nyonya
Van Dammen wataknya baik budi sebagaimana terbukti dalam kutipan di bawah ini:
“Nyonya Van Dammen memang seorang perempuan yang baik budi”. (hal
233, paragraf 2).
k.
Tuan
Administratur wataknya peramah dan baik.
-
Peramah
“Tuan administratur yang peramah itu tidak menyampaikan apa yang
hendak dituturkannya”. (hal 233, paragraf 3)
-
Baik
“Terima kasih Tuan, kebaikan hati Tuan akan saya kenang-kenangkan”.
(hal 237, paragraf 6)
Adapun perwatakan yang terdapat dalam novel “Cinta untuk Ayah”
karya Rizki Maulani Nasution adalah:
a.
Syifa
wataknya baik, kreatif, pintar dan shalehah sebagaimana yang terdapat dalam
kutipan di bawah ini:
“Ia anak yang baik, kreatif, pintar dan shalehah.” (halaman 16,
paragraf 6).
b.
Adly
wataknya perhatian terbukti dalam kutipan di bawah ini:
“Ternyata bapak ini tahu tingkah anaknya di sekolah walau ia sedang
di Amerika sekalipun, Ternyata ia sangat menyayangi anaknya,” batin Bu Maryam
(halaman 16, paragraf 7).
c.
Lia
wataknya penyayang terbukti dalam kutipan di bawah ini:
“Sayang, tidak ada yang bisa menyakitimu selama tante masih ada di
dekatmu.” (halaman 57, paragraf 4).
d.
Rahmat
wataknya baik sebagaimana yang terdapat dalam kutipan di bawah ini:
“Rahmat mengangkat gadis itu ke udara bermaksud menggendongnya.”
(halaman 85, paragraf 6).
e.
Bu
Maryam wataknya penyayang, seperti kutipan di bawah ini:
“Bu kepala, saya minta izin, tolong izinkan saya menemani si kecil
Shifa di rumah sakit.” (halaman 148, paragraf 1).
f.
Risa
wataknya egois, seperti kutipan di bawah ini:
“Sudah Dly….hentikan omong kosongmu itu. Aku dan keluargaku sudah
cukup malu dengan kelakuanmu tadi. Sekarang pili satu aku atau shifamu itu?”
(halaman 146, paragraf 4).
e. Latar (Setting)
Setting yang terdapat dalm novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis yaitu:
a.
Setting tempat
-
Lapangan
tennis
“Tempat bermain tennis yang dilinndunginya oleh pohon-pohon
sekitarnya, masih sunyi”. (hal 1, paragraf 1)
-
Solok,
Minangkabau
“Sungguhnpun ibunya orang kampung, dan selamanya tinggal diam di kampung
saja, tapi sebab kasihan kepada anak, ditinggalkannyalah rumah gedang di Koto
Anau, dan tinggallah ia bersama-sama dengan Hanafi di Solok.” (halaman 24,
paragraf 3).
“Maka tiadalah ia segan-segan mengeluarkan uang buat mengisi rumah
sewaan di Solok itu secara yang dikehendaki oleh anaknya.” (halaman 24,
paragraf 4).
“Acapkali benar, ia berkata, terutama kepada orang Belanda, “bahwa
negeri Minangkabau sungguh indah, hanya sayang sekali penduduknya si
Minangkabau.”
(halaman 26, paragraf 1)
-
Bonjol
“Ibu Rapiah hanya kuat sebulan menunggui anaknya di rumah Hanafi.
Sesudah itu kembalilah ia ke Bonjol dengan hati yang amat sedih.” (halaman 77,
paragraf 3).
-
Padang
“Lebih dahulu dokter memerikan jalan kapal dari Padang.” (halaman 94,
paragraf 6).
-
Betawi
“Dalam hatinya, Hanafi sebenarnya girang bahwa sudah terpaksa berangkat
ke Betawi.” (halaman 96, paragraf 4).
-
Probolinggo
“Kedua anak muda itu berjanjilah, bahwa Corrie akan temasa ke rumah
sahabatnya, di pabrik kopi ‘Gunung Wayang’ di bawahan Probolinggo.” (halaman
145, paragraf 5).
-
Gunung Sari
“Lekaslah membawa kabar ke Gunung Sari, Han”. (halaman 155,
paragraf 4).
-
Sukabumi
“Sepulangnya kita dari Sukabumi, Han!Aku masih lelah, biarlah aku
tinggal di rumah dahulu.”
(halaman 158, paragraf 4).
-
Semarang
“ Sepanjang jalan ke Semarang Hanafi bersandar saja di atas bangku
kereta api, serta menutupkan matanya.” (halaman 225, paragraf 6).
-
Rumah Sakit
“Maka bangkitlah Hanafi dari duduknya, lalu menghambur ke luar,
menaiki oto yang masih menanti, lalu berseru sekeras-kerasnya kepada supir,” Ayoh!Ke
Rumah Sakit Paderi, lekas sekali!” (halaman 228, paragraf 6).
-
Surabaya
“Di Surabaya mereka menumpang semalam di suatu pensional kecil.”
(halaman 150, paragraf 1).
-
Gang Pasar
“Di Gang Pasar Baru itu ia menyewa sebuah pavilyun, sedang
buatannya sehari-hari hanyalah belajar main piano saja.” (halaman 140, paragraf
1).
b.
Setting waktu, karena alurnya sentral, maka setting waktunya pun
menceritakan ke masa selanjutnya, lebih jelasnya lagi seperti pada kutipan di
bawah ini:
-
Tengah 5 petang
hari
“Cahaya matahari yang diteduhkan oleh daun-daun di tempat bermain
itu, masih keras, karena dewasa itu baru pukul tengah 5 petang hari.” (halaman
1, paragraf 1).
-
Malam
“Semalam-malaman itu Corrie tidak merasa tidur nyenyak” (halaman
34, paragraf 1).
-
Pukul 4
“Dari pukul 4 Corrie, sudah berhias dan memakai di muka cermin
besar.” (halaman 41, paragraf 1).
-
Petang
“Pada petang itu mereka sedang duduk bersenda gurau di dalam kebun
Hanafi, tempat Hanafi menerima kedatangan Corrie dahulu, sebelum datang kawan-kawan
yang hendak bermain.” (halaman 82, paragraf 2)
-
Hari Minggu
“Pada hari Minggu mereka ke
luar kota, mencari-cari hawa di tempat yang sunyi.” (halaman 140, paragraf 3)
-
Petang Kamis
malam Jumat
“Pada petang Kamis malam Jumat, Hanafi sudah datang ke asrama,
disambut oleh Corrie yang mengganti pakaian sekolahnya pada malam itu dengan
pakaian berpesta.” (halaman 116, paragraf 8)
-
Subuh
“Pada keesoka harinya, waktu subuh mereka sudah ada pula di
stasiun.” (halaman 150, paragraf 2).
-
Pagi
“Fajar menyingsing di
sebelahh timur, alamat matahari hendak naik.” (halaman 196, paragraf 1).
c.
Setting Suasana
Dalam novel
“Salah Asuhan” suasananya perselisihan, kebahagiaan, kesedihan, kecemasan, ironis, penuh emosi, sunyi.
Seperti dalam kutipannya seperti berikut:
-
Perselisihan
“Aku tahu betul, bahwa aku hanyalah Bumiputra saja, Corrie!
Janganlah kau ulang-ulang juga.” (halaman 3, paragraf 1).
-
Bahagia
“Oh, ruangan di dalam jantung Tuan Hanafi amat luas,”kata Corrie
sambil tertawa,”buat menempatkan dua tiga orang perempuan saja masih
berlapang-lapang.”
(halaman 7, paragraf 4).
-
Kesedihan
“Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah karena bagi Hanafi
segala orang yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan.”
(halaman 25, paragraf 6).
-
Cemas
“Ibunya melihat keadaan serupa itu dengan kecemasan hati. Orang tua
itu bukan tak arif, bahwa anaknya di dalam beberapa hari yang akhir ini
berperangai luar biasa.” (halaman 53, paragraf 3).
-
Ironis
“Kesayangan Hanafi pada ibunya, belum seberapa; berlipat-lipat
ganda kasih ibu kepada anak tunggal yang sudah tak berayah lagi itu. hanya
sebab memikirkan nasib anaknya, maka Hanafi tetap meranda.” (halaman 53,
paragraf 4).
-
Penuh
emosi
“Sampai kering kerongkonganku memanggil si Buyung, seorangpun tidak
menyahut!” kata Hanafi sambil membelakakan matanya kepada istrinya.” (halaman
83, paragraf 4).
-
Sunyi
“Sejurus lamanya tidak kedengaran sepatah jua; sepatah katapun
tidak.” (halaman 88, paragraf 4).
Adapun setting
yang terdapat dalam novel “Cinta untuk Ayah” karya Rizki Maulani
Nasution yaitu:
a.
Setting tempat
-
Sekolah
“Saat itu, hari pertama masuk sekolah. Banyak anak-anak yang
diantar oleh orang tuanya masing-masing.” (halaman 5, paragraf 3).
-
Rumah Shifa
“Pulang sekolahnya, Shifa masuk ke rumahnya dengan wajah
berseri-seri.” (halaman 21, paragraf 1).
-
Kantor
“Adly melirik jam dinding di kantornya.”
(halaman 50, paragraf 1).
-
Pantai
“Anak-anak sedang asyiknya bermain di pantai.”
(halaman 66, paragraf 2).
-
Kamar
“Adly sendirian di kamarnya.” (halaman 157, paragraf 6).
b.
Setting waktu, karena alurya sentral, setting waktunya pun menceritakan
ke masa selanjutnya, lebih jelasnya lagi seperti pada kutipan di bawah ini:
-
Minggu
“Bu Guru, Ayah Shifa datang hari Minggu ini.”
(halaman 8, paragraf 3).
-
Malam
“Hari yang dinantikan oleh
Shifa pun datang. Malam itu ia tidak bisa tenang.” (halaman 10, paragraf
2).
-
Pagi
“Adly melirik jam dinding di kantornya. Sudah menunjukkan pukul 10
pagi.” (halaman 59, paragraf 1).
“Pagi sayang” (halaman 125, paragraf 2).
c.
Setting Suasana
Setting suasana yang terdapat dalam novel “Cinta untuk Ayah” yaitu kegelisahan,
kebahagiaan, kesedihan, ketakutan.
Seperti dalam kutipan di bawah ini:
-
Gelisah
“Malam itu, ia tidak bisa tenang, menunggu hari Minggu esoknya.
Berulang kali, ia menanyakan tantenya tentang ayahnya.” (halaman 10, paragraf
2).
-
Senang
“Shifa, ayah datang.” Tante lia berteriak senang, mengabarkan pada
keponaknnya itu.” (halaman 13, paragraf 5).
“Ayaaah…!!” Shifa histeris menghambur ke pelukan ayahnya.” (halaman
13, paragraf 5).
-
Sedih
“Shifa menangis, ia berteriak-teriak, katanya ayahnya berbohong.”
(halaman 25, paragraf 1).
“Shifa masih menangis sesenggukan di atas kasurnya. Bantalnya basah
dipenuhi air mata.” (halaman 25, paragraf 2).
-
Ketakutan
“Ya Allah semoga mama Risa itu baik, tapi aku takut ya Allah.”
(halaman 135, paragraf 2).
“Ayah… ayah aku sayang sama ayah. ayah dimana? Shifa takut, Ibu
guru pucat sekali.” (halaman 169, paragraf 3).
f. Sudut Pandang
Dalam novel “Salah
Asuhan” karya Abdoel Moeis dan novel “Cinta untuk Ayah” karya
Rizki Maulani Nasution, menggunakan sudut pandang orang ketiga, karena
pengarang menceritakan orang lain.
g. Gaya Bahasa
Dalam novel “Salah
Asuhan” karya Abdoel Moeis, gaya bahasanya menarik. Bahasanya bersastra
membuat pembaca awam harus berulang kali membacanya agar dapat mengerti makna
cerita tersebut.
Dalam novel “Cinta
untuk Ayah” karya Rizki Maulani Nasution, gaya bahasanya lebih sederhana
daripada sastra klasik, bahasanya mudah di mengerti karena novel modern yang
saya analisis ini selain memberi amanat juga bersifat menghibur.
h. Amanat
Amanat yang
dapat diambil dari novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis yaitu kasih
sayang seorang ibu tak kan ada batasnya, ia mencintai anaknya meskipun dalam
keadaan salah. Sayangilah anak istri sesuai dengan syariat-Nya, karena
penyesalan selalu datang terakhir. Sayangilah keluarga. Cintailah bangsa
sendiri. Perjuangan mempertahankan cinta sejati sampai akhir nafas. Jangan
mudah berburuk sangka, carilah kebenarannya diantara setiap kejadian.
Amanat yang
dapat diambil dari novel “Cinta untuk Ayah” karya Rizki Maulani Nasution
yaitu cintailah keluarga sebelum mereka tiada dan bila cinta memanggilmu dengarkanlah dengan
hati.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Novel “Salah Asuhan” karya Abdoel
Moeis bertemakan tentang perbedaan adat istiadat, antara bangsa Eropa dengan
bangsa Pribumi sedangkan “Cinta untuk Ayah” tentang kepolosan putri
kecil mencintai ayahnya.
Alur kedua novel ini alur sentral karena menceritakan kejadian ke
masa selanjutnya.
Tokoh yang terdapat dalam novel “Salah Asuhan” yaitu:
Hanafi, Corrie, Rapiah, Ibu Hanafi, Tuan Du Bussee, Syafei, Si Buyung, Nyonya
Pension, Piet, Nyonya Van Dammen, dan Tuan Aministratur. Tokoh yang terdapat
dalam novel “Cinta untuk Ayah” yaitu Shifa, Adly, Lia, Rahmat, Bu Maryam
dan Risa. Tokoh sentral dalam kedua novel ini yaitu Hanafi, Corrie, Rapiah, dan Ibu Hanafi (novel Salah Asuhan), sedangkan
Shifa dan Adly (novel Cinta untuk Ayah).
Perwatakan dalam kedua novel ini yaitu Hanafi seorang anak yang
durhaka, suami durhaka, Hanafi selalu berjuang untuk mendapatkan cinta
sejatinya. Corrie, Rapiah dan ibu Hanafi berperan sebagai tokoh protagonis yang
selalu sabar menghadapi sikap Hanafi. Sedangkan dalam novel Cinta untuk Ayah
dominan peran protagonis karena menceritakan keluarga yang saling menyayangi.
Setting novel “Salah Asuhan”, setting tempat:
Lapangan tenis, Minangkabau, Semarang, Surabaya, Probolinggo, Sukabumi dan Gang
Pasar, setting waktu dari pagi hingga malam dan di hari-hari tertentu,
seperti Minggu, setting suasananya ada kebahagiaan, kesedihan, dan
perselisihan. Sedangkan dalam novel “Cinta untuk Ayah”, setting
tempat: rumah, sekolah, pantai, setting waktu pagi hingga malam dan pada
hari-hari tertentu seperti hari libur, setting
suasana: kesedihan, kebahagiaan.
Sudut pandang dalam kedua
tersebut yaitu menggunakan sudut pandang orang ketiga karena menceritakan orang
lain.
Gaya Bahasa yang digunakan dalam novel “Salah Asuhan”
menggunakan sastra sehingga pembaca awam harus membaca ulang agar bisa memahami
maknanya karena tidak mudah dimengerti sedangkan dalam novel “Cinta untuk
Ayah, menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti, karena
novel tersebut hanya bersifat menghibur.
Amanat yang dapat diambil dari kedua novel tersebut yaitu
sayangilah keluarga, jaga dan rawatlah selama mereka masih ada karena
penyesalan selalu datang di akhir.
DAFTAR PUSTAKA
Jaya, Adisan.2012. Makalah Analisis Unsur Ekstrinsik
dan Intrinsik dalam novel Orang-orang Proyek. Tersedia di http://Adisanjaya.wordpress.com/2012/07/22/makalah. Diakses tanggal 15 Oktober 2013.
Maharani,
Arman. 2013.Bahasa Sastra dan Pendidikan.
Tersedia di http://Armanmaharani.wordpress.com/2013/05/26/sastra. Diakses tanggal 15
Oktober 2013. Melanie,
Aulia. 2011. Analisis Novel Ayat-Ayat Cinta melalui
Pendekatan Struktural. Tersedia di
http://ketikaungumerasukkalbu.blogspot.com/2011/11/analisis-novel-ayat-ayat-cinta-melalui.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2013.
Winda. 2009. Kupukupuhati. Tersedia di http://kupukupuhati.blogspot.com/2009/07/unsur-unsur-intrinsik.html. Diakses tanggal 10 November 2013.
LAMPIRAN
A.
BIOGRAFI
PENULIS
|
|
LENI
SITI SYAMSIAH lahir di Ciamis, Jawa Barat, tanggal 27 Juli 1993.
Menyelesaikan sekolah dasar di MIN Neglasari dan lulus tahun 2006,
melanjutkan ke MTs Al-Huda Sadananya lulus tahun 2009, setelah itu
melanjutkan ke jenjang SMA di MA Cilendek Tasikmalaya lulus tahun 2012. Dan
sekarang penulis sedang belajar di Universitas Galuh Ciamis Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia.
|
B.
BIOGRAFI
PENGARANG
a.
Abdoel
Moeis
Abdoel Moeis
adalah seorang pengarang Balai Pustaka yang berasal dari daerah Minangkabau.
Ayahnya orang Minang dan ibunya orang Sunda. Ia adalah seorang pejuang
kebangsaan Indonesia yang sezamanan dengan H.O.S Cokroaminoto dan Ki Hajar
Dewantara. Sebagai seorang perintis kemerdekaan, ia mulai menerjuni lapangan
politik sejak tahun 1920 sebagai anggota Indie Werbar, kemudian menjadi pemimpin
Serikat Islam dan menjadi anggota Volksraad.
Setelah
menyelesaikan pelajarannya di sekolah rendah Belanda di Bukittinggi, ia
melanjutkan perjalan di Stovia, tetapi tidak sampai selesai. kemudian ia
menjadi wartawan di Bandung.
Dengan
mengetengahkan tokoh Hanafi dalam roman Salah Asuhan, Abdoel Moeis mengkritik
sikap dan tingkah laku kaum borjuis yang kebarat-baratan dan lupa daratan.
Dalam roman tersebut, soal adat masih disinggung-singgungnya, bahkan
dikritiknya tajam sekali. Beberapa karya lain yang berupa roman adalah
Surapati, Robert Anak Surapati dan pertemuan jodoh.
b.
Rizki
Maulani Nasution
Rizki Maulani
Nasution, seorang pengarang muda dari Padangsidempuan, melanjutkan jenjang SMA
di SMA 1 Padangsidimpuan, dan menyelesaikan pendidikan S1 di STKIP Tapsel
Padangsidempuan.
trima kasih kak.lengkap banget
ReplyDeletetrima kasih kak.lengkap banget
ReplyDelete