Thursday, May 7, 2015

Efisiensi Bank Syariah



Efisiensi Bank Syariah
Oleh: Leni Siti Syamsiah 

Mentari tersenyum simpul, sinarnya memandikan daun-daun yang bermekaran di taman kampus. Semua mahasiswa hilir mudik, hatiku dag dig dug penuh bahagia, karena sekarang perjuanganku selama empat tahun mengemban ilmu telah berakhir.
Aku mulai melangkahkan kaki di Auditorium Universitas Gadjah Mada, berkumpul dengan wisudawan yang lainnya. Aku duduk di jajaran pertama bersama teman-teman seperjuanganku di jurusan akuntansi, sedangkan orang tuaku masih berada di belakang wisudawan, menempati kursi yang telah disediakan untuk wali mahasiswa.
Suasana hening mulai terasa, acara wisuda siap dimulai, satu persatu mahasiswa dari prodi masing-masing yang dipanggil namanya melangkahkan kaki mendekati rektor dan jajaran dosen, membawa sertifikat dan toga. Begitupun denganku, Aku tidak percaya bahwa perjuanganku kuliah kini telah berakhir dengan kebahagiaan yang tak terkira. Kebahagiaanku bertambah setelah namaku dipanggil sebagai salah satu wisudawan yang berprestasi dengan nilai comeloude. Kulirik orang tuaku dengan mata nanar, terpancar kebanggaan dari pemandangan yang aku lihat.
Seminggu sudah, aku lulus dari Universitas Gadjah Mada, namun belum juga menemukan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang aku ambil. Surat Lamaran telah kulayangkan pada beberapa perusahan dan bank-bank syariah di Yogyakarta. Sekarang tinggal menunggu panggilan kerja.
“Yoga, dimana kamu mau kerja?” sahut Ibu sembari membawakan makanan ke meja.
“Entahlah bu, aku lagi nunggu panggilan dulu”
“Iya, ibu punya kenalan yang kerja di bank, dia nawarin kamu?
“Bank apa bu?”
“Bank Mandiri”
“Syariah bukan bu?”
“Bukan kayaknya, bank kontemporer ga”
Aku terdiam, teringat semasa kuliah dulu, dosen mengajarkan materi tentang bank syariah dan bank kontemporer. Bathinku lebih tertarik pada bank Syariah, tapi peluang mengantarkanku untuk kerja di bank kontemporer. Saat itu aku benar-benar dilematis.
“Kamu kenapa? Ibu menangkap sinyal kebingungan dari mataku.
“Entahlah bu”
“Bukannya kerja di bank Syariah itu dibatasi, sedangkan di bank kontemporer kamu bisa lebih bebas” tambah Ibu yang mengerti keinginanku untuk kerja di bank syariah.
“Bank Syariah juga sekarang sudah berkembang bu, bank syariah sudah membuktikan efisiensinya dalam melayani masyarakat. Contohnya: Bank syariah banyak membantu masyarakat dalam hal pinjam meminjam tanpa riba. Sedangkan di bank kontempor banyak memicu persaingan masyarakat untuk mencari keuntungan. Pada saat mengalami kasus saja, sebagian besar nasabah penerima kredit Perbankan Konvensional pada saat itu mengalami gagal bayar (default) dengan bunga setinggi itu. Akibatnya adalah semakin tingginya penyaluran pembiayaan yang bermasalah (Non-Performng Loan/NPL).
Perbankan Syariah mampu bertahan lebih baik daripada perbankan konvensional pada saat krisis seperti itu. Prinsip syariah sendiri mengacu pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai inilah yang kemudian diaplikasikan dalam pengaturan Perbankan Syariah saat ini, termasuk juga di Indonesia. Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi Islam, dimana di dalamnya diatur mengenai larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan dengan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil (equity based financing). Sedangkan Perbankan Konvensional sebagian besar mengelola dana nasabah yang mereka kumpulkan ke pasar keuangan seperti pasar modal dan pasar uang yang bersifat spekulatif, hal ini dipandang haram oleh perbankan syariah karena ada unsur perjudian (maisir)” lanjutku panjang lebar menceritakan efisiensi bank syariah.
Intinya keberhasilan Perbankan Syariah menghadapi krisis moneter yang melanda pada tahun 1997-1998 lalu lebih disebabkan penerapan prinsip-prinsip syariah yang mengutamakan cara-cara yang diperkenankan (halal), serta menjauhi cara-cara yang meragukan (subhat), apalagi yang dilarang dalam Islam (haram). Hal tersebutlah yang ingin bekerja di bank syariah, sudah terbukti memegang prinsip islam, aku bisa nyaman kerja di sana bu” ucapku terbata-bata, tenggorokanku kering karena menjelaskan efisiensi bank syariah tersebut.
“Ya sudah terserah kamu saja Yoga, Ibu hanya ingin yang terbaik buat kamu. Daripada nunggu yang gak jelas, lebih baik memilih yang jelas dan pasti-pasti saja” 
Gejolak api berkobar di dada, semangatku untuk tetap lebih memilih kerja di bank syariah, akhirnya terkabul. Salah satu stap bank mandiri syariah Yogyakarta menghubungiku dan memberi kabar gembira, bahwa lamaranku diterima. Alhamdulillah, akhirnya keinginaku bisa tercapai, segera kupeluk ibu. Ibu pun terharu penuh bangga. Syukur kami berakhir dengan air mata bahagia.



Friday, April 17, 2015

Puisi Sosial

Si Buta Dadaha

Hitam pekat teduh
Menyelimuti badannya yang lusuh
Berjalan dipapah sang pengasuh
Sembari menggembol alat karaoke yang kumuh
Suaranya syahdu
Menggetarkan seluruh nadiku
Membuatku menganga
Menyaksikan aksi si buta dadaha
Ia terus berdendang
Melantunkan nada riang
Berharap kan ada penghargaan
Demi sesuap sarapan
Namun, semua orang langsung tuli dan buta
Tak melirik bahkan menutup mata
Hati yang tertutup tanpa cahaya
Memandangnya sebelah mata
Lelah jiwa melangkah dalam gelap
Tak menyulutkan kobaran api di dadanya
Ia terus mendendangkan nada
Demi kebutuhan keluarga









Tentang Penulis
Leni Siti Syamsiah, lahir di Ciamis, 27 Juli 1993. Menyelesaikan sekolah dasar di MI Negeri Neglasari. Setelah itu melanjutkan ke MTs. Al-Huda Sadananya dan MA Cilendek Tasikmalaya. Saat ini penulis menempuh studi di Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Galuh. Penulis bergiat dalam Komunitas Cipta Sastra Indonesia (KCSI) Prodi Diksatrasia, HIMA Diksatrasia, Kelompok Jurnalistik Linguistika dan Komunitas Musikalisasi Violin. Puisi-puisinya terhimpun dalam antologi puisi bersama Sajak Semesta Memahat Langit (2013), Risalah Hati (2013) dan......................................(2015)

Makalah Etika Bahasa Jurnalistik

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Manusia adalah pembuat nilai etika. Beberapa filosof, membedakan antara etika dan moral sebagai konsep. Etika dinyatakan sebagai kajian umum dan sistematik tentang apa yang seharusnya menjadi prinsip banar dan salah dari perilaku manusia. Sementara moral atau moralitas adalah standar benar dan salah yang praktis, spesifik, disepakati bersama, dan dialihkan secara kultural. Tetapi filosof lain menggunakan terma-terma etika dan moral dalam pengertian yang bisa saling dipertukarkan (Johannesen, 1996: 1-2).
Dengan demikian, etika suatu masyarakat tentang suatu hal, misalnya tentang komunikasi manusia, bersifat relatif. Artinya hanya berlaku untuk masyarakat tersebut dan tidak mengikat masyarakat-masyarakat lainnya. Bahkan sebagian orang percaya, etika komunikasi bersifat individual, personal, dan subyektif (Wenburg dan Wilmot, 1973: 71-71).
Begitu juga dengan etika bahasa jurnalistik. Setiap negara memiliki sistem ideologi dan sistem politiknya masing-masing. Sistem ideologi dan politik inilah yang kemudian juga melekat dalam sistem pers atau sistem media massa suatu negara yang di dalamnya bersemi etika.
Dalam etika bahasa jurnalistik, komitmen, kapasitas, kualitas, dan kredibilitas suatu media, benar-benar dipertaruhkan. Seorang jurnalis kurang bermoral dari media yang tidak profesional, akan memandang etika bahasa jurnalistik sebagai suatu kemustahilan. Sebalikya seorang jurnalis bermoral dari media profesional, akan melihat etika bahasa jurnalistik sebagai suatu keharusan. Dengan etika, fungsi media tercerahkan dan termuliakan. Tanpa etika, kehadiran suatu media awal dari kehancuran.Berdasarkan hal tersebut maka dalam etika bahasa jurnalistik memiliki pedoman-pedoman yang harus ditaati oleh setiap oraganisasi kejurnalistikan agar untuk tidak keluar dari koridor yuridis, sosiologis, dan koridor etis.

1.2    Rumusan Masalah
 Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa rumusan masalah yakni sebagai berikut :
a.    Apa arti dan definisi etika ?
b.    Apa pengertian, ciri dan prinsip bahasa jurnalistik?
c.    Apa pengertin etika bahasa jurnalistik ?
d.    Apa definisi dan pedoman etika bahasa jurnalistik ?
e.    Bagaiamanakah bahasa indonesia ragam jurnalistik?
f.    Apa saja penyimpangan bahasa jurnalistik?

1.3    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
a.     Mengetahui arti dan definisi etika.
b.    Mengetahui dan memahami pengetian, ciri dan prinsip bahasa jurnalistik.
c.    Mengetahui pengertian etika bahasa jurnalistik.
d.    Memahami definisi dan pedoman etika bahasa jurnalistik.
e.    Mengetahui dan memahami bahasa indonesia ragam jurnalistik.
f.    Mengetahui dan memahami penyimpangan bahasa jurnalistik.

1.4    Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
a.    Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang etika bahasa jurnalistik.
b.    Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang etika bahasa jurnalistik.
c.    Penulis dan pembaca dapat memperoleh pengetahuan serta  pemahaman tentang pedoman etika bahasa jurnalistik.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Arti dan Definisi Etika
Secara etimologis, berdasarkan yang diungkapkan Bertens dalam (Hikmat, 2011) etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, ethikos, yang berarti timbul dari kebiasaan. Ada juga yang mengkategorikan berasal dari kata ethos yang berarti adat atau kebiasaan atau bentuk jamaknya la etha atau ta ethe yang artinya samaadat kebiasaan. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan. Moral atau moralitas untuk perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Istilah lain yang  identik dengan etika adalah susila dan akhlak. Susila (Sansekerta),lebih menunjukan kepada dasar-dasar, prinsip, dan aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak menurut Ruslan dalam (Lastra, 2011).
Menurut Ki Hajar Dewantara, etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.
Menurut K. Bertens, etika dapat dibedakan dalam tiga arti. Pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau niali moral. Maksudnya adalah kode etik. Ketiga, etika adalah ilmu tentang apa yang baik atau buruk.
Dalam hukum dan masyarakat terdapat etika. Jika hukum berbicara tentang peraturan tertulis dan bersifat memaksa, maka etika lebih banyak menyentuh peraturan tidak tertulis sebagai hasil kesepakatan-kesepakatan dalam masyarakat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam etika tak ada kekuatan yang sifatnya memaksa. Etika berpulang pada hati nurani setiap individu (Sumadiria, 2005: 228).

2.2 Bahasa Jurnalistik
a.    Pengertian Bahasa Jurnalistik
Menurut Jus Badudu dalam (Nina, 2013), bahasa jurnalistik tunduk pada bahasa baku. Bahasa baku ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya. Kemudian dalam (Sarwoko, 2007) Jus Badudu menyatakan bahwa bahasa jurnalistik itu harus sederhana, mudah dipahami, teratur, dan efektif. Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami berarti menggunakan kata dan struktur kalimat yang mudah dimengerti pemakai bahasa umum. Bahasanya teratur berarti setiap kata dalam kalimat sudah ditempatkan sesuai dengan kaidah. Efektif, bahasa pers haruslah tidak bertele-tele, tetapi tidak juga terlalu berhemat sehingga maknanya menjadi kabur.
Dengan berpijak pada pendapat para pakar dan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur, atau pengolah media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan, dan penayang berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan atau menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya.
b.    Ciri Bahasa Jurnalistik
Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala tersebut. yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata. (diksi) yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari pengunaan kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika (Sumadiria, 2005:53-61). Berikut perincian penjelasannya.
1. Sederhana
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau. kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalistik.
2. Singkat
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-¬kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekwensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.
3. Padat
Menurut. PatmonoSK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap  kalimat dan paragrap yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalinat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kaliamat yang padat, kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.
4. Lugas
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingunglian khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.
5.Jelas
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagai contoh, hitam adalah wara yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan, maka terdapat perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada. Kedua warna itu  sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu. Perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di sini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan  kaidah subjek-objek-predikat- keterangan (SPOK), jelas sasaran atau maksudnya.
6.Jernih
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan bandingan, kita hanya dapat menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada akuarium dengan air yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar biasa apabila dimasukkan  ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh.
Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan  kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan public. Dalam bahasa kiai, jermh berarti bersikap berprasangka baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola piker positif (positive thinking) dan menolak pola pikir negative (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih dan dada lapang.
Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat.  Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan partai politik.
7. Menarik
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku.
Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan baku saja. Inilah yang menyebabkan karya-karya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada memunculkan semangat dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa jurnalistik hasil karya wartawan, sementara karya ilmiah hasil karya ilmuwan. Wartawan sering juga disebut seniman.
Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan  kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.
8. Demokratis
Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan  aspek fungsional dan komunal, sehingga samasekali tidak dikenal pendekatan feudal sebagaimana  dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan kraton.
Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan pengemis dan pemulung secara sama.Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan, maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden dan pengemis  keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar,  karikatur, atau teks foto.
Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama  di depan hukum schingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda. Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat  persatuan dan kesatuan bangsa, karena. bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis. Sebagai contoh, prisiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.
9. Populis
Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran  khalayak pembaca, pendengar, atau. pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para pembantu rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat dharma wanita. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.
10. Logis
Logis berarti apa  pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraph jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahasa jurnalistik harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Di sini berlaku hokum logis. Sebagai contoh, apakah logis kalau dalam berita dikatakan: jumlah korban tewas dalam musibah longsor dan banjir banding itu 225 orang namun sampai berita ini diturunkan belum juga melapor.. Jawabannya tentu saja sangat tidak logis, karena mana mungkin korban yang sudah tewas, bisa melapor?
Menurut salah seorang wartawan senior Kompas dalam bukunya yang mengupas masalah kalimat jumalistik, dengan berbekal kemampuan menggunakan logika (silogisme), seorang wartawan akan lebih jeli menangkap suatu keadaan, fakta, persoalan, ataupun pernyataan seorang sumber berita. Ia akan lebih kritis, tidak mudah terkecoh oleh sumber berita yang mengemukakan peryataan atau keterangan dengan motif-mo¬tif tertentu (Dewabrata, 2004:76).
11. Gramatikal
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.
12. Menghindari kata tutur
Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus kota, atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh pihak yang diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang, dilangin, bikin, diksih tahu,  mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.
13.   Menghindari kata dan istilah asing
Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak  diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif juga membingungkan.
Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonym dan heterogen. tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.
14.  Pilihan kata (diksi) yang tepat
Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektifitas. Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khlayak. Pilihan kata atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak.
Pilihan kata atau diksi yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan akibat fatal. Seperti ditegaskan seorang pakar bahasa terkemuka, pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata itu. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan,  tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai arstistik yang tinggi (Keraf, 2004:22-23).
15.  Mengutamakan kalimat aktif
Kalimat akiff lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Sebagai contoh presiden mengatakan, bukan dikatakan oleh presided.Contoh lain, pencuri mengambil  perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan diambilnya perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri. Bahasa jurnalistik harus.jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear and strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.
16.  Menghindari kata atau istilah teknis
Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efelitf, juga mengandung unsur pemerkosaan.
Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah dipahami maksudnya, maka istilah-istilah teknis itu harus diganti dengan istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tak terhindarkan, maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tanda kerung.
Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan media itu :
o    kurang melakukaii pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas,
o    tidak memiliki editor bahasa,
o    idak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau
o    tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola penerbitan pers yang berkualitas.
17.  Tunduk kepada kaidah etika
Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to educated), Fungsi ini bukan saja harus, tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya, melainkan juga harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja mencerminkan pikiran tapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu.
c.    Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
Penggunaan bahasa jurnalistik itu tidak boleh sembarangan. Melainkan harus berdasarkan kaidah-kaidah dari bahasa Indonesia itu sendiri. Dan sesuai prinsip-prinsip dasar dalam bahasa jurnalistik yang telah ditentukan.
Dalam bahasa jurnalistik ada empat prinsip retorika tekstual yang dikemukakan oleh Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.
1.    Prinsip Prosesibilitas
Prinsip ini merupakan suatu proses dimana penulis harus memahami dari pesan yang akan disampaikan. Sehingga pembaca dapat mudah memahaminya, maka di sini penulis harus menentukan beberapa hal yaitu:
o    Bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan.
o    Bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan tersebut.
o    Bagaiman mengurutkan satuan-satuan pesan tersebut.
Ketiga hal di atas akan saling berkaitan. Penyusunan bahasa jurnalistik dengan menerapkan bahasa Indonesia yang baik itu harus cepat menimbulkan pemahaman pembaca dalam kondisi apapun tentang fakta atau berita yang disampaikan. Sehingga, prinsip prosesibilitas ini tidak terlanggar.
2.    Prinsip Kejelasan
Yaitu prinsip dimana penulis dituntut agar teks dapat mudah dipahami oleh pembaca. Dengan menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (abiguity) sehingga mudah dipahami.
3.    Prinsip Ekonomi
Yaitu teks harus ditulis sesingkat mungkin tanpa harus merusak dan mereduksi pesan.
4.    Prinsip Ekspresivitas
Pinsip ini disebut pula dengan prinsip ikonisitas. Yang mana prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan.
Maka dari itu untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut tentunya diperlukan latihan berbahasa tulis secara terus-menerus. Serta melakukan penyuntingan tanpa pernah berhenti. Dengan demikian keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang telah ditetapkan dan mudah dimengerti oleh masyarakat serta memuaskan pembacanya akan bisa diwujudkan.
2.3 Definisi dan Pedoman Etika Bahasa Jurnalistik
2.3.1 Definisi Etika Bahasa Jurnalistik
Etika bahasa jurnalistik ialah segala hal nan bersinggungan dengan proses perencanaan, aplikasi dan supervisi segala hal nan berhubungan dengan aktivitas jurnalistik. Yaitu, diawali dengan peliputan, penyajian, pemuatan, penyiaran dan penayangannya di media.
Jika digambarkan, sejatinya aktivitas seorang jurnalis ialah ia langsung turun ke lapangan. Setelah itu, ia menemui dan mewancarai narasumber sembari mengamati situasi di sekitarnya. Saat terjadinya wawancara, maka jurnalis mesti merekam atau mencatat jalannya wawancara. Setelah selesai melakukan wawancara, maka ia mesti bergegas menuju kantor. Sesampai di kantor, ia langsung menuju mejanya di ruang redaksi. Ia menghidupkan komputer dan meracik hasil wawancaranya.
Dalam hitungan menit, sebuah warta nan layak terbit dan aktual sudah selai diracik dan siap buat dimuat. Namun sebelum warta diterbitkan, jurnalis mesti mengirimkannya kepada redaktur buat diperiksa apakah sudah layak terbit dan memenuhi struktur bahasa jurnalistik atau tidak. Dengan sistem online, para jurnalis tak perlu susah-susah lagi mondar mandir ke meja redaktur. Tinggal kirim via email, akan mendapatkan pandangan dari redaktur. Apakah mesti ada penambahan, pengurangan atau sudah cukup?
Di sinilah letaknya etika bahasa jurnalistik. Para redaktur menilai bahasa jurnalistik nan diracik oleh para jurnalis. Karena ada kata-kata nan lunak agar menarik perhatian pembaca mesti diubah menjadi menjadi kata-kata nan keras, namun tetap saja harus sinkron dengan kode etik profesi.
Bahasa bagi seorang jurnalis ialah senjata dan kata-katanya ialah peluru. Karena itu, ia tak boleh sembarang mengubah hasil wawancaranya. Seorang jurnalis tak boleh menggunakan senjatanya buat membunuh orang lain. Ia hanya boleh menggunakan senjatanya hanya buat mencerdaskan dan memuliakan masyarakat serta membela dan menjunjung tinggi kehormatan bangsa. Karena itu, sungguh tepat ungkapan nan menyatakan bahwa seorang jurnalis pada dasarnya ialah seorang nasionalis. Ia mencintai negeri, bangsa dan profesi melibihi kecintaannya kepada isterinya.
2.4 Pedoman Etika Bahasa Jurnalistik
Sudah diatur dalam etika jurnalistik, bahwa jurnalis dan pengelola media massa buat tak keluar dari koridor yuridis, sosiologis, dan koridor etis. Dalam buku Hukum dan Etika Pers disebutkan bahwa koridor yuridis buat pers sudah diatur dalam UU Pokok Pers No. 40/1999. Sedangkan buat media penyiaran radio dan televisi sudah diatur dalam UU Pokok Penyiaran No. 32/2002.
Koridor sosiologis juga sudah dibakukan dalam enam landasan pers nasional. Koridor etis buat sebagian sudah dibakukan dalam pelbagai ketentuan dan panduan standar seperti kode etik jurnalistik dan kode etik praktik media massa. Tapi buat sebagian lagi, senantiasa inheren dalam kebijakan redaksional media dan pegangan personal-spritual jurnalis.
Etika bahasa jurnalistik menjadi panduan setiap jurnalis buat memperhatikan serta tunduk pada kaidah bahasa media massa. Teori jurnalistik mengajarkan, bahwa bahasa media massa ialah salah satu ragam bahasa nan khas sebab senantiasa dipadukan dengan ciri media beserta pembacanya nan anonim dan heterogen.
Penting menjadi catatan, bahwa bahasa jurnalistik media massa juga mengikuti alur logika teknis. Maksudnya, penulisan judul dan tubuh berita, harus disesuaikan dengan besar-kecil ruangan (new space) nan tersedia. Jadi, bahasa jurnalistik tak semata bicara logika, struktur dan makna saja. Namun bahasa jurnalistik juga memperhatikan unsur-unsur sistematika.
Makanya para jurnalis ketika menulis selalu memperhatikan dan menghitung jumlah kata dalam setiap judul dan setiap berita. Meski demikian, para jurnalis tetap harus menjaga kualitas dan kuantitas bahasa.
Melalui pengkajian terhadap pendidikan jurnalistik ini, kita jadi memahami bahwa seorang jurnalis mesti terampil berbahasa. Keterampilan berbahasanya harus memiliki empat komponen. Yaitu, keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan menulis. Setiap keterampilan berhubungan erat dengan tiga keterampilan lainnya dengan cara nan beraneka ragam.
Dengan bahasa lebih mendalam, setiap keterampilan sangat berhubungan erat dengan proses-proses nan mendasari bahasa. Karena bahasa seseorang mencerminkan pikirannya.
Sehingga semakin terampil seorang jurnalis dalam berbahasa, semakin cerah dan jelas juga jalan pikirannya. Karena itu, ketrampilan hanya diperoleh dengan banyak praktik dan berlatih. Melatih ketrampilan berbahasa juga akan melatih keterampilan berpikir.
Singkatnya, bahasa menjadi pandu empiris sosial. Karena pandangan seseorang tentang global dibentuk oleh bahasa. Dan sebab bahasa juga, pandangan seseorang terhadap global pun akan mengalami perbedaan. Makanya, tidak perlu heran kenapa media dapat berbeda dalam berbahasa. Ada nan bahasanya halus dan santun. Ada pula nan keras dan tak sopan.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sebagai salah satu organisasi profesi tertua dan terbesar di Indonesia, tak terkecuali terikat pula dengan kewajiban serta ketentuan tersebut. Itulah sebabnya, dalam kurun waktu 1977-1979, PWI bekerja sama dengan beberapa lembaga di dalam dan luar negeri, menyelenggarakan pelatihan wartawan. Hasilnya dituangkan dalam sejumlah pedoman penulisan antara lain:
1.    Pedoman pemakaian bahasa dalam pers
Ada sepuluh pedoman pemakaian bahasa dalam pers, yaitu:
a.    Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD).
b.    Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim.
c.    Wartawan hendaknya tidak menghilangkan imbuhan, bentuk awal atau prefiks.
d.    Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek.
e.    Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui, dalam rangka.
f.    Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir seperti adalah, telah, untuk, dari, bahwa dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.
g.    Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan campur aduk dalam satu kalimat bentuk pasif dengan bentuk aktif.
h.    Wartawan hendaknya menghilangkan kata-kata asing dan istilah-istilah terlalu teknis ilmiah dalam berita.
i.    Wartawan hendaknya sebisa mungkin mentaati kaidah tata bahasa.
j.    Wartawan hendaknya ingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai dari tiga aspek yaitu, isi, bahasa, dan teknik persembahan.
2.    Pedoman penulisan teras berita
Ada sepuluh pedoman penulisan teras berita, sebagai berikut:
a.    Teras berita pada alinea pertama mencerminkan pokok terpenting berita.
b.    Teras berita dengan mengingat sifat bahasa Indonesia, jangan mengandung lebih dari antara 30 sampai 40 perkataan.
c.    Teras harus ditulis dengan : mudah ditangkap dan cepat dimengerti, mudah diucapkan di depan radio dan televisi serta mudah dimengerti, kalimat-kalimatnya singkat, sederhana susunannya dengan mengindahkan bahasa baku serta ekonomi bahasa, menjauhkann kata-kata mubazir, satu gagasan dalam satu kalimat
d.    Hal sabagai pelengkap dimuat dalam berita.
e.    Teras berita mengutamakan unsur yang terjadi. Misalnya persoalan apa yang terjadi.
f.    Dapat dimulai dengan unsur siapa.
g.    Jarang menggunakan unsur bilamana.
h.    Urutan tempat baru disusul urutan waktu.
i.    Unsur bagaimana dan mengapa di uraikan dalam badan berita.
j.    Dapat dimulai dengan kutipan pernyataan seseorang, asal kutipan itu tidak panjang.
3. Pedoman penulisan bidang hukum.
4. Pedoman penulisn bidang agama.
5. Pedoman penulisan bidang koperasi.
6. Pedoman penulisan bidang pertanian dan perburuhan

2.5 Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik
1. Berpedoman pada Bahasa Baku
Bahasa jurnalistik yang ditulis dalam bahasa Indonesia juga harus dapat dipahami oleh pembaca di seluruh nusantara. Bahasa Indonesia juga mengenal berbagai ragam bahasa, termasuk dialek. Bila surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya menggunakan bahasa Indonesia dengan salah satu dialek tertentu, besar kemungkinannya tulisan dalam surat kabar/majalah tersebut tidak dapat dipahami oleh pembaca di seluruh nusantara. Seperti dikemukakan oleh J.S. Badudu, -- bahasa baku, baik lisan maupun tulisan dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya.
Contohnya:
PLN sebagai penyedia layanan publik tentu harus bertanggung jawab atas kerugian itu. Terlebih-Iebih, sumber kerusakan sebenamya sudah diketahui empat hari sebelumnya, bahkan hari pemadaman pun sudah direncanakan dan diatur PLN. (Republika, 23 Mei 1997)
Bahasa Indonesia baku itulah yang seharusnya digunakan dalam bahasa jumalistik agar dapat dipahami oleh pembaca di seluruh tanah air. Karena itu, bahasa jurnalistik sama sekali tidak berbeda dengan bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia yang digunakan dalam komunikasi resmi: pidato resmi kenegaraan, surat-menyurat resmi, menulis laporan resmi, menulis buku ajar, makalah (paper), skripsi, tesis, disertasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya. Jadi, kalau pada kenyataannya ada sedikit perbedaan antara bahasa jurnalistik dengan bahasa Indonesia baku, bukan pada hakikatnya memang hams berbeda. Akan tetapi, perbedaan itu lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat teknis di samping kurangnya kemampuan berbahasa para jurnalis dan redaktur surat kabar yang bersangkutan, seperti telah disinggung di muka.
2. Bahasa yang Digunakan Efektif dan Efisien
Bahasa yang efektif ialah bahasa yang mencapai sasaran yang dimaksudkan (Moeliono, 1993: I). Bahasa Indonesia jurnalistik yang efektif membuahkan hasil atau efek yang diharapkan pembicaraan karena cocok atau relevan dengan peristiwa atau sesuai dengan keadaan yang menjadi latarnya. Bahasa Indonesia jurnalistik yang efisien ialah bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku, dengan mempertimbangkan mh~' ukuran umum, yang mengatasi varlasi dialek atau idiolek (perseorangan), bagi pemakaian bahasa yang benar dan patut menjadi contoh untuk diikuti. Hoed (1977: 3) dalam penelitiannya tentang "Kata Mubazir dalam Surat Kabar Harlan Berbahasa Indonesia" menyatakan, usaha mencapai efisiensi didasarkan pada probabilitas munculnya suatu kata dalam konteks tertentu (probability of accurance).
2.6    Penyimpangan Bahasa Jurnalistik
Meskipun bahasa jurnalistik mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang telah ditentukan, namun masih terlihat penyimpangan terhadap kaidah bahasa jurnalistik yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Demikian pula penyimpangan mengenai tataran tanda baca. Penyimpangan bahasa jurnalistik ini sepertinya menjadi hal yang lazim, sehingga bahasa jurnalistik dianggap sebagai perusak bahasa Indonesia. Mestinya bahasa junalistik tetap harus mengacu pada kaidah bahasa yang telah baku, karena media massa sangat erat kaitannya dengan masyarakat.
Adapun beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dari kaidah bahasa Indonesia baku, yaitu:
1.      Penyimpangan Klerikal (Ejaan dan Tanda Baca)
Kesalahan ini sering kali kita temukan dalam media massa, baik dalam penulisan kata, seperti Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis kuatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron. Dan kesalahan tanda baca juga dapat ditemui dalam penggunaan tanda titik, tanda koma, tanda hubung, dan lain-lain.
Berikut ada beberapa kata yang sering salah ejaannya dalam media massa diantaranya yaitu:
Baku    Nonbaku    Baku    Nonbaku
Iktikad    Itikad    Rezeki    Rejeki
Analisis    Analisa    Jagat    Jagad
Zaman    Jaman    Riil    Riel
Aksesori    Asesoris    Jenderal    Jendral
Asasi    Azasi    Karier    Karir
Dividen    Deviden    Miliar    Milyar
Guncang    Goncang    survei    Survai
Hektare    Hektar    omzet    Omset
Izin    Ijin    penasihat    Penasehat
Yodium    Iodium    apotek    Apotik
Elite    Elit    tekad    Tekat
Bonafide    Bonafid    nekat    Nekad
Maka dalam memilih ejaan kata yang tepat kita harus memerlukan sedikit ketelitian. Karena bahasa Indonesia banyak memiliki bentuk kembar, seperti kata risiko-resiko, sekadar-sekedar, Senin-Senen, film-pilem, juang-joang. Memang kata-kata seperti itu sering kali membuat kita bingung dan akhirnya kita membuat kesalahan dalam penulisannya. Biasanya hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari bahasa daerah. Maka kita harus memilih ejaan yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan.
2.      Penyimpangan Gramatikal
Penyimpangan gramatikal ini terdiri atas:
a.    Kesalahan Pemenggalan
Kesalahan pemenggalan kata dalam media massa terkesan asal penggal saja. Hal ini dikarenakan pemenggalannya menggunakan program komputer bahasa asing. Dal hal ini bisa diatasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
b.    Penyimpangan Morfologis
Penyimpangan ini sering dijumpai pada judul berita dalam media massa yang menggunakan kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Misalnya: “Muluskan Boediono, Lobi Komisi IX”, “Cemburu, Pelajar Bunuh Pelajar”, “Ngaku Buat Jaga Diri Bapak-Bapak Ditangkep Pulisi Karena Bawa Sajam”.
c.    Kesalahan Sintaksis
Kesalahan ini yaitu berupa pemakaian tata bahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan arti dari kalimat tersebut. Hal ini disebabkan karena logika penulis yang kurang bagus. Contoh: “Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat”. Judul tersebut seharusnya ditulis, “Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika Serikat”.
3.      Penyimpangan Semantik
Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau menimbulkan dampak buruk pemberitaan  dan untuk melebih-lebihkan (bombastis). Contoh: Penyesuaian tarif BBM merupakan kebijakan pemerintah yang tidak populis. Pemakaian kata penyesuaian tarif, tidak dapat dimaknai dari segi makna lugas saja melainkan juga harus dilihat dari makna figuratif (kias) yang mengandung eufimismedengan alasan kesopanan.
4.      Penyimpangan Dari Aspek Kewacanaan
Penyimpangan ini dapat diketahuai dari aspek kewacanaan dari penggunaan bahasa yang dilihat dari makna bahasa yang berkaitan dengan aktivitas dan sistem-sistem di luar bahasa. Contoh penyimpangan dari aspek kewacanaan ini yaitu berita tentang tragedi kematian Munir (Pejuang HAM). Meski pelaku dan dalang pembunuhnya belum ditemukan, namun media massa telah membentuk opini masyarakat tentang para pelakunya. Pemberitaan tersebut memiliki pendapat yang berbeda dari masing-masing media sehingga menjadikan isi berita menjadi tidak realistis. Bahkan, terlalu dibesar-besarkan sehingga membuat para pembacanya bingung.
Permasalahan yang muncul adalah masalah peminjaman istilah-istilah atau kata-kata asing yang pada dasarnya sudah populer di masyarakat. Penggunaan istilah asing tersebut telah bertaburan di media massa. Tetapi, penggantian istilah asing yang tidak ada penggantinya dalam bahasa Indonesia akan menimbulkan kesulitan.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, maka perlu dilakukan penyuntingan atau editing  baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, ejaan, serta pemakaian bahasa jurnalistikyang baik secara umum. Agar penulis atau wartawan mampu memilih kosakata yang tepat, maka  mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas kata yang sama, yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya.
Dengan demikian,penulis atau wartawan bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Sementara dalam penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan:
1.    Balancing, yaitu menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan.
2.    Visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data yang aktual.
3.    Logika cerita yang mereferensi pada kecocokan.
4.    Akurasi data.
5.    Kelengkapan data, setidaknya prinsip 5w1h.
6.    Panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan halaman.
Oleh karena itu diperlukan latihan menulis secara terus-menerus, dan latihan penyuntingan yang berkelanjutan. Dengan  upaya pelatihan dan penyuntingan tersebut, maka diharapkan seorangjurnalis dapat  menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan selera pembacanya, pendengarnya, atau penontonnya.





BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Etika bahasa jurnalistik menjadi pedoman setiap jurnalis atau para pengelola medis massa untuk memperhatikan serta tunduk kepada kaidah bahasa media massa. Dalam etika bahasa jurnalistik, komitmen, kapasitas, kualitas, dan kredibilitas suatu media, benar-benar dipertaruhkan. Seorang jurnalis kurang bermoral dari media yang tidak profesional, akan memandang etika bahasa jurnalistik sebagai suatu kemustahilan. Sebalikya seorang jurnalis bermoral dari media profesional, akan melihat etika bahasa jurnalistik sebagai suatu keharusan. Dengan etika, fungsi media tercerahkan dan termuliakan. Tanpa etika, kehadiran suatu media awal dari kehancuran.

3.2 Saran
Makalah ini diharapkan dapat membantu dan menambah wawasan bagi para pembaca untuk mengetahui lebih jauh mengenai etika bahasa jurnalistik. Dalam penulisan makalah ini tentulah mempunyai banyak kekurangan yang perlu dilengkapi oleh pembaca yang memiliki disiplin ilmu tentang pembahasan ini. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan makalah ini.










DAFTAR PUSTAKA

Johannesen, Richrad. L. 1996. Etika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Sumadiria, AS Haris. 2005.BahasaJurnalistik. Bandung: Simbiosa.
Sarwoko, Tri Adi. 2007. Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik. Yogyakarta : ANDI.
Hikmat, Mahi M. 2011. Etika dan Hukum Pers :Menghirup Kebebasan Berhindar dari Penodaan terahadap Martabat Agama. Bandung : Batic Press.
Lastra, Muda. 2011. Etika Bahasa Jurnalistik. Tersedia di http://mudalastra.blogspot.com/. Diakses pada Kamis, 19 Maret 2015.
Nina, Nur. 2013. Bahasa Jurnalistik. Tersedia di http://nurminabastra.blogspot.coml. Diakses pada Kamis, 19 Maret 2015.






Skenario Pembelajaran berbasis Masalah

A.    LEMBAR KERJA

Buatlah contoh penerapan strategi pembelajaran berbasis masalah dalam kegiatan pembelajaran!
Sekolah        : MAN Cilendek Tasikmalaya
Mata Pelajaran    : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester    : XI (Ganjil)
Materi Pokok        : Teks Cerita Ulang
Alokasi Waktu    : 2x pertemuan (4x40 menit)

A.    Kompetensi Dasar dan Indikator:
No    Kompetensi Dasar    Indikator Pencapaian Kompetensi
1.3    Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui cerita ulang.   


-    Menganalisis isi teks cerita ulang
-    Menganalisis kaidah teks cerita ulang
-    Menyunting teks cerita ulang berdasarkan struktur isi dan kaidah teks cerita ulang
2.3    Menunjukkan  perilaku jujur, tanggung jawab dan disiplin dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk bercerita ulang.   
3.3    Menganalisis teks cerita ulang, baik melalui lisan maupun tulisan.   
4.3    Menyunting teks cerita ulang, sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan.   

B.    Langkah-langkah Pembelajaran
Kegiatan    Deskripsi    Alokasi Waktu
Pendahuluan     1.    Siswa merespon salam guru
2.    Siswa membaca doa yang dipimpin guru
3.    Siswa merespon pertanyaan dari guru berhubungan dengan kondisi (lahir batin)
4.    Siswa merespon pertanyaan guru tentang pembelajaran sebelumnya
5.    Siswa merespon keterkaitan  pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan
6.    Siswa menerima informasi kompentensi, tujuan dan materi pembelajaran yang akan dilaksanakan.
7.    Guru mengarahkan siswa agar pembelajaran dapat mengembangkan sikap santun, jujur, tanggung jawab, cinta damai melalui kegiatan belajar teks cerita ulang.
    10 menit
Inti         Mengorientasikan peserta didik terhadap masalah
-    Guru menjelaskan materi pembelajaran
-    Guru memberikan contoh analisis teks cerita ulang dan cerita ulang yang ditulis teman.
    Mengorganisasi peserta didik untuk belajar
Siswa membaca dan mengamati kedua teks cerita ulang tersebut. Siswa bertanya kepada guru mengenai isi teks cerita ulang dan teks cerita ulang yang ditulis teman. Siswa juga bertanya mengenai struktur dan kaidah teks cerita ulang. Guru menjelaskan isi teks cerita ulang dan teks cerita ulang ditulis teman, guru juga menjelaskan mengenai struktur dan isi teks cerita ulang.
    Membimbing penyelidikan individual
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi dari berbagai sumber selain dari penjelasan guru seperti internet dan berdiskusi dengan teman lainnya. Setelah memperoleh pengetahuan mengenai teks cerita ulang, siswa menganalisis isi teks cerita ulang dari struktur dan kaidahnya. Setelah itu siswa menyunting teks cerita ulang yang ditulis teman berdasarkan struktur dan kaidah teks cerita ulang.
    Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Siswa mendiskusikan dan menyimpulkan hasil analisis teks cerita ulang. Guru juga membimbing siswa untuk memperbaiki hasil analisis teks cerita ulang berdasarkan hasil suntingan. Siswa mempresentasikan hasil analisisnya di depan kelas dengan percaya diri. Siswa lainnya menanggapi/mengomentari presentasi teman dengan santun.
    Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
-    Guru membetulkan kesalahan yang terdapat pada siswa.
-    Guru dan siswa bertanya jawab tentang materi hari ini yang belum difahami siswa.
    60 menit
Penutup   
1.    Guru dan siswa menyimpulkan pembelajaran mengenai teks cerita ulang
2.    Siswa melakukan refleksi terhadap apa yang dilakukan selama pembelajaran berlangsung
3.    Guru dan siswa merencanakan tindak lanjut pembelajaran untuk pertemuan selanjutnya
4.    Guru dan siswa menutup pembelajaran dengan berdoa
     10 menit



Skenario Pembelajaran Discovery Learning

    Buatlah skenario pembelajaran dengan menggunakan strategi discovery learning!

Sekolah        : MAN Cilendek Tasikmalaya
Mata Pelajaran    : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester    : XI (Ganjil)
Materi Pokok        : Teks Cerita Ulang
Alokasi Waktu    : 2x pertemuan (4x40 menit)

1.    Kompetensi Dasar dan Indikator:
No    Kompetensi Dasar    Indikator Pencapaian Kompetensi
1.3    Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui cerita ulang.   


-    Menganalisis isi teks cerita ulang
-    Menganalisis kaidah teks cerita ulang
-    Menyunting teks cerita ulang berdasarkan struktur isi dan kaidah teks cerita ulang
2.3    Menunjukkan  perilaku jujur, tanggung jawab dan disiplin dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk bercerita ulang.   
3.3    Menganalisis teks cerita ulang, baik melalui lisan maupun tulisan.   
4.3    Menyunting teks cerita ulang, sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan.   

2.    Langkah-langkah Pembelajaran
A.    Kegiatan Pendahuluan
1.    Siswa merespon salam guru
2.    Siswa membaca doa yang dipimpin guru
3.    Siswa merespon pertanyaan dari guru berhubungan dengan kondisi (lahir batin)
4.    Siswa merespon pertanyaan guru tentang pembelajaran sebelumnya
5.    Siswa merespon keterkaitan  pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan
6.    Siswa menerima informasi kompentensi, materi pembelajaran yang akan dilaksanakan.
7.    Guru mengarahkan siswa agar pembelajaran dapat mengembangkan sikap santun, jujur, tanggung jawab, cinta damai melalui kegiatan belajar teks cerita ulang.
B.    Kegiatan Inti
1.    Stimulation (Stimulasi/pemberian rangsangan)
Guru memberikan rangsangan dengan membagikan selembaran mengenai contoh analisis teks ceritata ulang dan teks cerita ulang karya teman kepada seluruh siswa. Guru  menyuruh siswa untuk membaca dan  memahami kedua teks cerita ulang tersebut.
2.    Problem Statement (pernyataan/identifikasi masalah)
Guru bertanya kepada siswa mengenai teks cerita ulang yang dibaca. Dan memberikan kesempatan  siswa untuk menanyakan hal –hal yang tidak dimengerti atau kurang jelas. Siswa merespon dengan  bertanya mengenai isi teks cerita ulang dan teks cerita ulang karya teman. Guru menjelaskan mengenai isi teks cerita ulang dan cerita ulang yang ditulis teman.
3.    Data collection (pengumpulan data)
Setelah menyimak penjelasan guru, siswa mencari informasi lain dari berbagai sumber seperti internet dan diskusi dengan teman lainnya. Setelah memperoleh pengetahuan, siswa menganalisis isi teks cerita ulang dari struktur dan kaidahnya. Setelah itu siswa menyunting teks cerita ulang yang ditulis teman dari struktur dan kaidah teks cerita ulang.
4.    Verification (pembuktian)
Pada tahap ini, siswa mendiskusikan dan menyimpulkan hasil analisis teks cerita ulang dan memperbaiki teks cerita ulang berdasarkan hasil suntingan yang telah dilakukan siswa sebelumnya.
5.    Generalization (menarik kesimpulan)
Pada tahap ini siswa memperesentasikan atau mengkomunikasikan hasil analisis mengenai teks cerita ulang kepada guru dan teman-temannya. Guru dan teman lainnya memberi tanggapan atau komentar.
C.    Kegiatan Penutup
1.    Guru dan siswa menyimpulkan pembelajaran mengenai teks cerita ulang
2.    Siswa melakukan refleksi terhadap apa yang dilakukan selama pembelajaran berlangsung
3.    Guru dan siswa merencanakan tindak lanjut pembelajaran untuk pertemuan selanjutnya
4.    Guru dan siswa menutup pembelajaran dengan berdoa

Friday, April 10, 2015

Makalah Psikolinguistik


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi manusia, karena dengan bahasa kita dapat mengetahui informasi yang dibutuhkan. Kemampuan berbahasa telah dimiliki oleh manusia sejak lahir. Tangisan pertama bayi merupakan awal manusia berbahasa dan akan terus berkembang sampai anak mampu bertutur kata.

Masa batita merupakan usia yang paling penting dalam perkembangan bahasa. Karena pada masa itu, anak sudah peka terhadap rangsangan-rangsangan baik yang berkaitan dari fisik, motorik, sosial dan emosi. Pada masa batita anak meniru ucapan dan gerakan yang ada disekitarnya. Karena itu dalam perkembangan tersebut, peran orang tua sangat dibutuhkan karena masa batita merupakan proses terpenting dalam pemerolehan bahasa.

Kemampuan bahasa anak terus berkembang sesuai usianya. Namun dalam laporan ini penulis akan fokus membahas pemerolehan bahasa pada anak usia 16 bulan, usia tersebut anak sudah memasuki tahap linguistik 1 (Holofrastik/kalimat satu kata). Peran gerak-gerik lebih menonjol dengan penggunaan satu suku kata. Anak dapat menyampaikan keinginan hatinya dengan ujaran atau gerakan, dan mampu mengeluarkan emosinya dengan tangisan ataupun senyuman bahagia.


B.     Rumusan Masalah

1.       Apa yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa itu?

2.       Bagaimana tahapan pemerolehan bahasa itu?

3.       Bagaimana analisis keadaan bahasa pada anak usia 16 bulan bila dikaji dari pendekatan mikro linguistik?

C.    Tujuan

1.       Memahami materi mengenai pemerolehan bahasa.

2.        Memahami tahapan pemerolehan bahasa.

3.       Mengidentifikasi bahasa pada anak usia 16 bulan bila dikaji dari pendekatan mikro linguistik.

D.    Manfaat

Dalam penelitian ini, terdapat manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.      Manfaat Teoretis

a.              Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pengetahuan tentang bahasa yang diujarkan anak usia 16 bulan.

b.             Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi untuk penelitian berikutnya yang relevan.

2.      Manfaat Praktis

a.       Sebagai sumbangan referensi kepada para linguis, pendidik, serta orang tua dalam pengajaran bahasa pada anak.



BAB II

LANDASAN TEORI

A.                Proses Pemerolehan Bahasa Pertama

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2009:167).

Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2009:167).

Selanjutnya, Chomsky juga beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti struktur dari bahasanya yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang tidak terhitung jumlahnya dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dipunyai seorang individu mengenai bahasa ibunya (native languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada, tetapi dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan performansi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kompetensi.

B.                Tahap Pemerolehan Bahasa Pertama

Dalam bidang sintaksis, anak mulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata atau holofrase. Tahap ini berlangsung ketika anak berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang lengkap, misalnya “mam” (Saya minta makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini), “Ma” (Saya mau mama ada di sini). Mula-mula, kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana papa?” dan “Ma” dapat juga berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”.

Tahap Perkembangan Sintaksis

a.       Masa Pa-lingual sampai usia 1 tahun

b.      Kalimat satu kata 1-2 tahun

c.       Kalimat rangkaian kata 2 sampai 3 tahun

C.                Analisis Perkembangan Bahasa dengan Pendekatan Mikro Linguistik

1.       Pendekatan Mikro linguistik

Pendekatan mikro linguistik merupakan cabang linguistik yang membicarakan tentang cabang bahasa dari internalnya seperti morfologi, fonologi, lesikon, sintaksis. Pemerolehan bahasa pada penelitian ini akan dikaji berdasarkan pendekatan mikro linguistik.

a)        Semantik

Semantik disepakati sebagai istilah untuk bidang ilmu bahasa yang membahas atau mempelajari tentang makna atau arti, yang merupakan salah satu tataran analisis bahasa, yaitu fonologi, gramatika atau tata bahasa, dan semantik.

Menurut Pateda (dalam Wulandari, 2012) penjelasan makna dapat dilihat dari tiga segi, yaitu kata, kalimat, dan apa yang dibutuhkan pembicara untuk berbicara. Kridalaksana (dalam Wulandari, 2012) menjelaskan pengertian makna sebagai berikut:

1)      Maksud Pembicara;

2)      Pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;

3)      Hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukannya;

4)      Cara menggunakan bahasa.

b)     Sintaksis

Sintaksis mempersoalkan hubungan antara kata dan satuan-satuan yang lebih besar, membentuk suatu konstruksi yang disebut kalimat, hubungan antara satuan-satuan itu memperlihatkan adanya semacam hierarki atau tata urutan tingkatan. Kalimat adalah satuan adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh.

Sintaksis memiliki struktur, satuan dan pola-pola tertentu yang akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

1)       Struktur Kalimat

Struktur kalimat dalam sintaksis terdiri dari bentuk, kategori, fungsi, dan peran tidak ada hubungan satu lawan satu. Bentuk kalimat di dalam sintaksis terdiri atas kata, frasa atau klausa. Suatu bentuk kata yang tergolong dalam kategori tertentu dapat mempunyai fungsi sintaksis dan peran semantis yang berbeda dalam kalimat. Sementara itu kategori juga dibedakan dari bentuk kata. Dengan kata lain, fungsi merupakan suatu “tempat” dalam struktur kalimat dengan unsur pengisi berupa bentuk (bahasa) yang tergolong dalam kategori tertentu dan mempunyai peran semantis tertentu pula. Kategori sebuah kata, frasa, atau klausa dapat berbentuk nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan sebagainya, sedangkan gugus fungsi dapat diisi dengan subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Peran sintaksis dapat berupa pelaku, perbuatan, sasaran, peruntung, dan waktu.

2)       Satuan Sintaksis

Sintaksis sebagai subsistem bahasa mencakup kata dan satuan-satuan yang lebih besar serta hubungan-hubungan diantaranya. Pada umumnya pembicaraan yang lebih mendalam dalam studi sintaksis selain alat-alat sintaksis adalah satuan sintaksis. Kata merupakan satuan terkecil dalam satuan sintaksis. Satuan yang lebih besar adalah frasa, klausa, dan kalimat. Dalam tataran gramatikal kata adalah satuan terkecil dalam kalimat. Kata memiliki potensi untuk berdiri sendiri dan dapat berpindah dalam kalimat.

Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak berciri klausa. Seperti halnya dengan kata, frasa memiliki potensi untuk berdiri sendiri menjadi kalimat. Klausa adalah satuan gramatikal yang disusun oleh kata atau frasa, dan yang memiliki satu predikat. Pada umumnya klausa merupakan unsur pembentuk (konstituen) kalimat. Dalam satu klausa hanya terdapat satu predikat  dan dalam klausa terdapat bagian inti dan bukan inti. Klausa juga dapat diperluas, dan perluasan itu dengan menambahkan keterangan waktu, tempat, cara, dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa satuan kalimat dalam sintaksis terdiri atas kata, frasa, dan klausa.














BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab metodologi penelitian ini, penulis akan membahas mengenai metode penelitian yang dimulai dari menentukan data/jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data dan metode analisis data. Menurut Djajasudarma (dalam Riansari, 2009) metode merupakan cara kerja yang bersistem dalam pelaksanaan suatu kegiatan untuk mempermudah mencapai tujuan penelitian. Sedangkan metode penelitian adalah semua asas, peraturan dan teknik-teknik yang perlu diperhatikan dalam usaha pengumpulan data dan dianalisis. Dalam melakukan suatu penelitian, sebaiknya digunakan suatu metode yang tepat untuk menentukan langkah – langkah dalam penelitian.

A.      Data

Data merupakan bukti dalam menguji kebenaran atau ketidakbenaran suatu hipotesis. Menurut Azwar (dalam Riansari, 2009) membagi data menurut sumbernya menjadi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian sebagai sumber informasi. Sedangkan data sekunder data yang diperoleh dari pihak lain atau secara tidak langsung. Data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Penulis melakukan penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan mengenai proses pemerolehan bahasa pertama. Dalam Riansari, menurut Nawawi (1995:67), jenis penelitian yang bersifat deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan objek yang diselidiki sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat sekarang. Adapun tujuan dari penelitian yang bersifat deskriptif adalah untuk menggambarkan secara sistematis dari bahasa yang diujarkan obyek penelitian secara faktual dan akurat.

Penelitian ini dilakukan di rumah subjek penelitian, yaitu di Jalan Neglasari, RT 06/03 Desa Bendasari, Sadananya-Ciamis. Pengumpulan data dilakukan selama dua minggu. yaitu dari tanggal 25 Mei sampai 8 Juni 2014.

B.            Sumber Data

Subjek penelitian ini adalah sepupu penulis yang bernama Siti Rahmi Maulida. Ia biasa dipanggil Neneng. Neneng lahir di Ciamis, 21 Januari 2013. Saat ini usianya 16 bulan. Neneng merupakan seorang anak yang aktif berbicara, Ia juga sudah bisa merespon stimulus yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya. Terkadang ia selalu mengucapkan banyak kata namun tanpa makna. Dalam bahasa sunda terkenal dengan kata “Ngahaleuang” sehingga penulis tidak bisa memahami maksud pembicaraan subjek penelitian tersebut.

Neneng merupakan putri dari pasangan Bapak Ade Wahid Hasyim dan Ibu Ernawati. Bapak Ade Wahid Hasyim lahir di Ciamis, 06 Januari 1987 dan Ibu Ernawati lahir di Ciamis, 05 Mei 1989. Keduanya sangat terbuka ketika penulis melakukan wawancara mengenai pemerolehan bahasa yang biasa diujarkan oleh putrinya. Data selanjutnya diperoleh dari Ibu Siti Rohmah. Beliau adalah nenek dari subjek penelitian. Ibu Siti Rohmah juga sangat membantu penulis untuk memperoleh data tentang pemerolehan bahasa yang diujarkan cucunya tersebut.

C.      Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari observasi (pengamatan) langsung kepada subjek penelitian yaitu Sri Rahmi Maulida (Neneng). Observasi dilakukan penulis dengan mengamati setiap kata yang diujarkan subjek penelitian. Data yang merupakan ujaran dari Neneng tidak melalui perlakuan (eksperimen). Neneng sebagai subjek penelitian dan sebagai sumber data dibiarkan bertindak, bertingkah, serta bercakap-cakap secara alamiah.

Data sekunder diperoleh dari interview (wawancara). Wawancara dilakukan penulis kepada orang tua yaitu Bapak Ade Wahid Hasyim dan Ibu Ernawati. Wawancara juga dilakukan kepada nenek dari subjek penelitian yaitu Ibu Siti Rohmah. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan cara menyimak sumber data. Kemudian penulis merekam percakapan dengan sumber data dan dilanjutkan dengan teknik catat atau menggunakan transkripsi ortografis yaitu mencatat seluruh data tersebut.

D.           Metode Analisis Data

Analisis data merupakan suatu upaya untuk mengkaji dan mengolah data yang telah terkumpul sehingga diperoleh kesimpulan dalam pencapaian tujuan penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik Bagi Unsur Langsung (BUL) dan diperkuat dengan teknik lanjutan berupa Teknik Ubah Ujud. Kedua teknik tersebut merupakan perluasan dari metode agih. Uji keabsahan atau validitas data pada penelitian ini menggunakan trianggulasi data.



















BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.        Hasil Pengamatan

Neneng sebagai subjek penelitian dalam karya tulis ini merupakan anak yang mudah bergaul sehingga dia tidak kaget ketika ada orang baru bermain bersamanya. Ia juga pandai berceloteh sesuka hati tanpa dimengerti maksud celotehannya tersebut. Dia adalah anak yang banyak meniru ucapan-ucapan yang didengar dari lingkungan sekitarnya. Berikut hasil observasi yang secara umum teramati oleh penulis sebagai berikut.

Analisis Observasi

            Data Narasumber

            Nama              : Sri Rahmi Maulida

Usia                 : 16 bulan

Orang tua       : Ade Wahid Hasyim

                                      Ernawati

Alamat            : Jl. Neglasari Rt/Rw. 06/03 Bendasari, Sadananya-Ciamis

Data Pemerolehan Bahasa
No.
Kata
Frasa
Klausa
Kalimat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Mamah
Bapak
Mih = Nenek
Aki = Kakek
Teh = Kakak perempuan
Aa = Kakak laki-laki
Dede = Adik
Ai = Hai atau Halo
Mam = Makan
Eueut = Minum
Ais = Gendong
Memes = Kucing
Nenen = Minta susu
Dah = Dadah
Auk =Ikan
Cicak
Nak = Enak
Jiji = Menjijikan
Aya = Ada
Bak = Ibak = Mandi
Pis = Kencing
Yis = Cantik
Cis = Acis = Uang
Pel = Pel lantai
Bau
-
-
-

B.        Analisis Pembahasan Pemerolehan Bahasa :

1.      Kata “Mamah”

-          Semantik : Kata “Mamah” yang dimaksudkan anak ini adalah pengucapan kata “Ibu” saat memanggil ibunya.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Mamah” sudah tepat ketika memanggil ibu kandungnya.

2.      Kata “Bapak”

-          Semantik : Kata “Bapak” yang dimaksudkan anak ini adalah pengucapan kata saat memanggil ayah kandungnya.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Bapak” tersebut sudah tepat ketika memanggil ayah kandungnya.

3.      Kata “Mih”

-          Semantik : Kata “Mih” yang dimaksudkan anak ini dalam konteks bahasa sunda adalah memanggil neneknya.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Mih” tersebut dalam konteks bahasa sunda masih salah, seharusnya anak mengucapkan kata “Eumih”. Tetapi bila diubah ke dalam konteks bahasa Indonesia  kata “Mih” adalah nenek.

4.      Kata “Aki”

-          Semantik : Kata “Aki” yang dimaksudkan anak ini dalam konteks bahasa sunda adalah memanggil kakeknya.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Aki” tersebut dal konteks bahasa sunda sudah tepat. Tetapi bila diubah ke dalam bahasa Indonesia kata “Aki” adalah kakek.

5.      Kata “Teh”

-          Semantik : Kata “Teh” yang dimaksudkan anak ini dalam konteks bahasa sunda adalah memanggil kakak perempuan.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Teh” tersebut dalam konteks bahasa sunda kurang tepat, seharusnya menggunakan kata “Teteh” tetapi bila diubah ke dalam konteks bahasa Indonesia kata “Teh” adalah kakak perempuan.

6.      Kata “Aa”

-          Semantik : Kata “Aa” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah memanggil kakak laki-laki.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Aa” dalam konteks bahasa sunda tersebut sudah tepat, tetapi bila diubah menjadi kata dalam konteks bahasa Indonesia “Aa” adalah kakak laki-laki.

7.      Kata “Dede”

-          Semantik : Kata “Dede” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah memanggil adik atau saudaranya.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Dede” tersebut dalam konteks bahasa sunda sudah tepat, tetapi bila diubah ke dalam konteks bahasa Indonesia kata “Dede” adalah adik.

8.      Kata “Ai”

-          Semantik : Kata “Ai” yang dimaksudkan anak ini adalah memanggil atau menyapa seseorang.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Ai” tersebut kurang tepat, seharusnya anak mengucapkan kata “Hai/Halo”.

9.      Kata “Mam”

-          Semantik : kata “Mam” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah meminta makan.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Mam” dalam konteks bahasa sunda tersebut sudah kurang tepat, seharusnya “Mamam” tetapi bila diubah menjadi kata dalam konteks bahasa Indonesia adalah kata “Makan”.

10.   Kata “Eueut”

-          Semantik : Kata “Eueut” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah meminta minum.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Eueut” dalam konteks bahasa sunda tersebut sudah tepat, tetapi bila diubah menjadi kata dalam konteks bahasa Indonesia adalah kata “Minum”.

11.  Kata “Ais”

-          Semantik : Kata “Ais”dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah meminta digendong.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Ais” dalam konteks bahasa sunda sudah tepat, tetapi bila diubah menjadi kata dalam konteks bahasa Indonesia adalah kata “Gendong”.

12.  Kata “Memes”

-          Semantik : Kata “Memes”dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah memanggil kucing.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Memes” dalam konteks bahasa sunda sudah tepat, tetapi bila diubah menjadi kata dalam konteks bahasa Indonesia adalah kata “Kucing”.

13.  Kata “Nenen”

-          Semantik : Kata “Nenen”dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah meminta susu.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Nenen” dalam konteks bahasa sunda sudah tepat, tetapi bila diubah menjadi kata dalam konteks bahasa Indonesia adalah kata “Susu”.

14.  Kata “Dah”

-          Semantik : Kata “Dah” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah mengucapkan selamat tinggal sambil melambaikan tangan.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Dah” dalam konteks bahasa sunda kurang tepat, seharusnya kata “Dadah”.

15.  Kata “Auk”

-          Semantik : Kata “Auk” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah ikan.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Auk” dalam konteks bahasa sunda kurang tepat, seharusnya “Lauk” tetapi bila diubah menjadi kata dalam konteks bahasa Indonesia adalah kata “Ikan”.

16.  Kata “Cicak”

-          Semantik : Kata “Cicak” yang dimaksudkan anak ini memanggil cicak.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Cicak” sudah tepat.

17.  Kata “Nak”

-          Semantik : Kata “Nak” yang dimaksudkan anak ini yaitu enak.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Nak” tersebut kurang tepat, seharusnya enak.

18.  Kata “Jiji”

-          Semantik : Kata “Jiji” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah sesuatu yang menjijikan atau kotor.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Jiji” tersebut sudah tepat.

19.  Kata “Aya”

-          Semantik : Kata “Aya” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah ada.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Aya” tersebut dalam konteks bahasa sunda sudah tepat tetapi bila diubah ke dalam konteks bahasa Indonesia yaitu “Ada”.

20.  Kata “Bak”

-          Semantik : Kata “Bak” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah mandi.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Bak”dalam konteks bahasa sunda kurang tepat seharusnya“Ibak” tetapi bila diubah ke dalam konteks bahasa Indonesia yaitu mandi.

21.   Kata “Pis”

-          Semantik : Kata “Pis” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah kencing.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Pis” dalam konteks bahasa sunda tersebut kurang tepat seharusnya“Pipis” tetapi bila diubah ke dalam konteks bahasa Indonesia yaitu Kencing.

22.  Kata “Yis”

-          Semantik : Kata “Yis” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah cantik.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Yis” dalam konteks bahasa sunda tersebut belum tepat seharunya “Geulis” tetapi bila diubah ke dalam konteks bahasa Indonesia yaitu cantik.

23.  Kata “Cis”

-          Semantik : Kata “Cis” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah uang.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Cis” dalam konteks bahasa sunda tersebut kurang tepat seharusnya“Acis” tetapi bila diubah ke dalam konteks bahasa Indonesia yaitu uang.

24.  Kata “Pel”

-          Semantik : Kata “Pel” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah lap pel.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Pel” dalam konteks bahasa sunda tersebut kurang tepat seharusnya“lap pel” tetapi bila diubah ke dalam konteks bahasa Indonesia yaitu kain pel.

25.  Kata “Bau”

-          Semantik : Kata “Bau” dalam konteks bahasa sunda yang dimaksudkan anak ini adalah apa yang ditangkap indra penciumannya yang tidak enak.

-          Sintaksis: Pengucapan kata “Bau” sudah tepat.
















BAB V

PENUTUP

A.    Simpulan

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Bahasa Ibu merupakan bahasa pertama yang dikuasai anak sejak lahir ke dunia. Bahasa anak berkembang setelah terlibat interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungan.

Dalam bidang sintaksis, anak mulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata atau holofrase. Tahap ini berlangsung ketika anak berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama.

Berdasarkan hasil analisis pemerolehan bahasa pada anak usia 16 bulan di atas, terdapat kesalahan pada tataran semantik dan tataran sintaksis. Pengamatan saya tentang pemerolehan bahasa pada Neneng yaitu terdapat penggunaan bahasa sunda dalam percakapannya karena dilihat dari konteks tempat tinggalnya yang masyarakatnya adalah suku sunda. Kemudian dalam pengucapan, Neneng belum bisa menyebut semua benda dengan kata yang sempurna karena rangsangan yang didapat olehnya bersifat sesaat. Tetapi jika rangsangan terus diberikan kepadanya, dia dapat mengucapkan kata itu dengan sempurna.

Ditinjau dari faktor diri, Neneng aktif dalam berkomunikasi, meskipun usianya baru 16 bulan tapi ia menunjukkan semangat untuk meniru ucapan  atau gerakan orang lain di sekitarnya. Ditinjau dari faktor lingkungan keluarga, pemerolehan bahasa Neneng sudah cukup baik dan keluarga selalu melatihnya untuk berbicara dengan baik dan sempurna.

B.     Saran

Orang tua dan lingkungan sekitarnya sebagai orang-orang yag berinteraksi dengan Neneng sebaiknya menggunakan kata yang benar agar Neneng juga bisa mengucapkan kata dengan benar. Jangan menggunakan kata alay sebab usia 16 bulan, masih meniru lingkungan sekitar. Kemudian orang tua sebaiknya melatih Neneng untuk berbicara dengan baik dan kata yang sempurna. Dan terus membimbingnya berbicara dalam bahasa sunda maupun dalam bahasa Indonesia.












DAFTAR PUSTAKA

§  Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teori. Jakarta: Rineka Cipta.

§  Wulandari, Suci. 2012. Analisis Pemerolehan Bahasa Pada Anak Usia 18 Bulan. Tersedia di

http://inspirasisuciariesta.blogspot.com/2012/02/analisis-pemerolehan-bahasa-pada-anak.html. Diakses tanggal 02 Juni 2014.

§  Riansari, Titi. 2010. Proses Pembentukan Kata Pada Istilah Bahasa Inggris Di Bidang Pariwisata. Tersedia di http://eprint.undip.ac.id. Diakses tanggal 10 Juni 2014.